Media
Sosial, "Nabi" Baru yang Misterius.
Apakah kita mau menjadi anggota di
semua media sosial yang ada? (Pic:SocialMediaSite)
Saat ini perkembangan media sosial (Social
Media) semakin pesat dan bertumbuh kembang laiknya tanaman-tanaman bibit
unggul yang bertumbuh sangat cepat dan sangat pasti di tanah yang subur dan
selalu dipupuki. Pesatnya media sosial tentu akan membawa dampak menguntungkan
sekaligus merugikan, tergantung siapa dan dari sudut pandang mana kita melihatnya.
Cotoh kecil saja, ia akan sangat mungkin merugikan dan mengambil alih peran
promosi lewat media cetak, melangkahi fungsi salesman atau salesgirl,
walau tentu saja ini belum sepenuhnya benar dan diakui banyak pihak. Belum lagi
dampaf negatif bagi para pengguna belia, yang banyak memanfaatkan media sosial
secara serampangan dan asal-salan.
Tapi perkembangan pesat media sosial
juga pada sisi lain akan sangat menguntungkan para pegiat di bidang ini,
termasuk mereka yang menjadikan sarana ini sebagai “alat untuk mencari
keuntungan sebanyak mungkin”, katakanlah para online marketer, baik
secara perusahan maupun individually.
Nah, lalu apakah peran ini bisa
disikapi secara bijaksana dan serius oleh para pelakunya? Itu juga tentu saja
akan menjadi pertanyaan setiap kita. Terkadang kepesatan pertumbuhan media
sosial tidak diiringi kesiapan mental dan wawasan para pelakunya, oleh karena
itu jangan heran kalau banyak juga menuai hal-hal negatif di balik euphoria
social media ini. Secara signifikan ia kadang terlalu meroket sampai-sampai
menawarkan sesuatu yang utopis, terlalu tinggi untuk digapai dan dipratekkan.
Tapi juga ada kalanya ia begitu membumi, sampai-sampai tukang bakso dan tukang
ojek pun merasakan manfaatnya dengan sangat.
Nah, dalam perspektif untuk
membangun sebuah peradaban yang lebih baik maka media sosial seharusnya
diciptakan sebagai sebuah ruang publik yang bebas dari segala bentuk tekanan.
Apa artinya? Sederhananya adalah, ketika media sosial sudah diberangus
kebebasannya, dan apalagi ketika ia menjadi alat kekuasaan, maka itu sudah
barang tentu akan menistai dan menciderai kemurnian media sosial dalam
membangun civil society (bukankah itu juga yang mesti menjadi salah satu
tujuan sebuah media sosial?) Bayangkan saja, betapa gilanya, dan apa yang akan
terjadi kalau media sosial menjadi corong penguasa?
Saat-saat seperti ini realitasnya
sudah berbicara dengan sangat telanjang, bahwasanya media sosial berdiri cukup
strategis dalam ‘mengambil alih’ posisi dan peran beberapa pihak, sebut saja
diantaranya kaum intelektual, agamawan atau rohaniwan, marketing personnel,
tokoh sosial, pendidik, dan masih banyak lagi yang sudah secara turun temurun
menjadi panutan dinamika, dan sumber informasi, serta menjadi acuan pendapat
serta sikap masyarakat. Secara perlahan-lahan terlihat bahwa media sosial mampu
meramu dan menjamu kebutuhhan masyarakat tersebut. Ia menjadi lebih piawai dan
mumpuni serta lebih diterima daripada yang lain.
Ia (media sosial) menjadi sarana dan
alat yang harus ada, oleh sebagian orang itu adalah mutlak. Ia diperlukan oleh
dan untuk banyak hal. Ia begitu digandrungi dan cintai untuk maksud dan tujuan
apapun juga. Bahkan seakan-akan ia telah menjelma menjadi “nabi baru” yang
cukup mempengaruhi sebagian besar kehidupan masyarakat. Tanpa melihat batasan
umur dan strata sosial. Dari yang muda belia sampai yang tua bangkotan. Dari
yang berpendidikan tinggi, maupun yang tamatan sekolah menengah. Dari kalangan
pejabat, artis sampai yang tukang bakso dan pengojek sekalipun. Ia sudah
merambat bagai rumut liar dan menggurita ke semua lapisan masyarakat. Bagi
saya, ini adalah keuntungan sekaligus tantangan buat kita semua. Kita mesti
memaknai kemunculan dan kemasyuran media sosial ini dengan sebijak mungkin. Ia
bisa menjadi gula aren yang manis dan memberi semangat serta keuntungan, tapi
ia juga dapat menjadi racun yang pahit dan mematikan.
Saya sebenarnya sangat menyukai
untuk memanfaatkan media sosial sebagai lahan bisnis yang menguntungkan. Sebab
ini adalah pasar yang luar biasa. Ada bahkan yang bilang bahwa “Social Media
is the hottest way businesses to reaching out potential customers.” Saya
setuju itu. Coba saja, memanfaatkan media sosial tersebut dengan langkah yang
tepat dan benar, dengan perhitungan yang akurat dan jujur, banyak data membuktikan
betapa ia akan mendatangkan traffic dan akhirnya menguntungkan bisnis
yang sementara dijalankan. Tentu ditandai dengan penjualan yang meningkat dan
lain sebagainya.
Bahkan tidak sedikit perusahaan yang
menjalankan promosi dan kampanyenya lewat media sosial. Atau dengan bahasa yang
sedikit lebih keren, mereka menyebutnya sebagai A Social Media Marketing
Campaign. Kalau Anda aktif di beberapa media sosial besar, seperti
Facebook, Twitter, Linkedln, Multiply, dan masih banyak lagi, maka dengan mudah
akan ditemui perusahan-perusahan maupun individu yang berdagang, berbisnis,
atau berpromosi di sana. Untuk ukuran Indonesia mungkin seperti Kompasiana
(setengah media sosial?) dan Kaskus. Bahkan ada yang memanfaatkan Youtube untuk
berpromosi (promosi barang, promosi ide, juga promosi diri).
Lalu kenapa masih saja ada beberapa
yang katanya kurang beruntung di media sosial?
Tentu ini bukan perkara gampang
menjawabnya. Apa sebab? Perlu alat analisa lengkap dan komprehensif untuk
mengukur dan menilainya. Tapi setidak-tidaknya saya tawarkan untuk melihat hal
sederhana berikut ini:
- Cara berpromosi Anda, atau isi
promosi terlalu berlebihan dan atau terlalu sensational.
Orang lain memandangnya sebagai
sesuatu yang kurang realistis Ini tentu saja ada kaitannya juga dengan update
status. Ketika kita melakukan update status yang “terlalu promosi
diri” mungkin saja mengakibatkan yang tadinya mau mem-follow kita jadi
pikir-pikir dulu. Padahal follower blog, atau pada akun kita adalah
“pasar potential” pertama yang harus (segera) dibidik.
- Anda tidak menginjinkan orang lain
membagikan tautan atau pendapat mereka.
Orang lain akan follow kita
apabila kita juga ‘terbuka’ untuk mereka. Dalam arti kita mengijinkan mereka
untuk share sesuatu di lapak/rumah kita. Banyak yang menutup diri dengan
tidak mau menerima link dari pihak lain. Ini sebetulnya adalah niche
(relung) strategi kita merebut pasar jika hendak menawarkan barang atau jasa
kita online. Harusnya dimanfaatkan, bukan dihindari.
- Adanya Ketidakjelasan.
Seberapa sering Anda mem-follow
atau nge-add seseorang di Twitter atau Facebook yang tidak memiliki foto
diri? Saya jamin Anda tidak akan mau melakukannya. Social media adalah
seperti itu juga. That’s it. Orang berkehendak untuk connect
dengan orang lain, bukannya dengan sebuah logo, atau kata-kata tak jelas, atau
gambar binatang, atau gambar batu cadas. Tapi ketika kita membuat sesuatu yang
jelas, foto yang dapat diidentifikasi dengan jelas, tentu akan lebih
diperhatikan orang lain. Ada kejelasan dan terlihat lebih bertanggungjawab
nantinya. Remember: people want to connect with other people.
- Kurang berinteraksi.
Kalau kita ingin tidak hanya
melebarkan sayap, tapi juga mempertahankannya, maka berinteraksilah.
Yakinkan yang lain bahwa kita juga adalah mahluk sosial yang berinteraksi.
Cobalah jangan hanya memposting atau share sesuatu, tapi lakukan juga
hal-hal seperti membalas komentar, re-tweet bagi yang di Twitter,
berkomentar di dinding teman-teman di facebook, atau menjawab pertanyaan di LinkedLIn
Answer, dan masih banyak lagi. Itu adalah bagian dari interaksi.
- Mungkin anda keliru memilih media
sosial.
Rasa-rasanya tidak perlulah untuk
menjadi anggota di semua media sosial yang ada. Ada FB, Flickr, SlideShare,
Twitter, Digg, StumbleUpon, LinkedLIn, Delicious dan masih banyak lagi. Pilih
saja salah satu atau dua dan fokus di sana. Pilihlah yang sesuai dengan
karakteristik kita atau bisnis yang kita miliki. Jika kita bergelut di bidang
jual beli pakaian mungkin Facebook, Youtube, dan Kaskus yang kita pilih. Untuk
jual beli tulisan, pilihlah Komasiana misalnya. Ini hanya sekedar contoh.
- Terlalu berharap hasil secepat
kilat.
Tidak beda jauh dengan SEO, promosi
melalui media sosial juga butuh waktu. Bukan hanya Sim Sala Bim, maka
jadilah. kum faya kum. Jadilah maka jadilah demikian. Bukan begitu cara
kerjanya. Ini semua perlu proses. Butuh waktu untuk menggapai hasil yang luar
biasa dan maksimal. Kegigihan dan isi yang menakjubkan adalah kuncinya. Jika
Anda membangunnya dengan benar, percayalah itu tidak akan kembali dengan
sia-sia. They will come. Just give it more time. Serempak, sambil
menunggu, tetap didorong dengan berbagai content baru nan segar, tetap
berinteraksi. Jangan tunjukkan kegalauan ketika hasil maksimal belum dicapai.
Akhirnya, media sosial adalah alat
dan sarana baru untuk ekspresi diri maupun ekspresi bisnis. Peluang itu sudah
di depan mata. Sekarang tergantung saya dan Anda, you will take it or leave
it. Tapi saya pribadi tidak akan take it for granted. Harus
mempertimbangkan banyak hal dan kemungkinan. Sebab, “nabi baru” itu kadang
masih misterius. Sukar ditebak. Tak mudah dibedah.
0 comments:
Posting Komentar