Hidup Mulia Atau Mati Syahid
Isy Kariman aw Mut Syahidan.
Hidup Mulia Atau Mati Syahid. Slogan ini oleh aktivis Islam Liberal
dianggap sebagai Slogan Pembangkit Militansi, ‘Teologi Maut’ yang
negatif dan menghancurkan dan tidak sesuai dengan Islam. Jawa Pos,
sebuah harian yang rajin mengekspos ide-ide sekuler dan liberal
menurunkan tulisan sejak tanggal 26 September 2009 secara berseri untuk
membahasnya. Tercatat ada 8 orang penulis, mulai dari Syafi’i Anwar
hingga Kamaruddin Hidayat, termasuk Musdah Mulia ikut ambil bagian
membuat tulisan pesanan tersebut.
Ironisnya,
dalam membicarakan hidup mulia dan mati syahid tersebut tidak ada
seorang pun penulisnya yang merupakan representasi seorang mujahid,
atau ulama mujahid. Bahkan mengutip dari para mujahid atau ulama
mujahid saja juga tidak, kecuali untuk ‘dipelintir’ maksudnya. Karena
hampir seluruh penulisnya aktivis Islam liberal, maka arah dan
kecenderungan tulisannya pun sudah bisa ditebak, yakni membela
mati-matian ide liberalisme dan pluralisme serta menolak ide syariat
Islam dan jihad. Lantas, apakah makna dari slogan Isy Kariman aw Mut Syahidan yang sebenarnya?
Isy Kariman aw mut Syahidan, Haditskah ?
Isy Kariman aw Mut Syahidan
berarti Hidup Mulia atau Mati Syahid, atau bisa juga berarti hiduplah
dengan mulia dan matilah secara syahid alias menjadi seorang syuhada. Isy Kariman aw Mut Syahidan bukanlah sebuah hadits, melainkan semacam moto atau slogan dalam khazanah perjuangan Islam.
Ungkapan
ini pertama kali dikemukakan oleh ibunda Abdullah bin Zubair, yakni
Asma Binti Abu Bakar kepada puteranya, Abdullah bin Zubair. Konteks
ungkapan itu juga kontekstual dan sangat heroik, karena disampaikan
oleh Ibunda Asma kepada putranya Abdullah bin Zubair agar tetap
semangat berperang membela kebenaran sampai titik darah penghabisan
melawan kekuasaan tiran saat itu pimpinan Yazid bin Muawiyah.
Ungkapan
ini menjadi istimewa karena diucapkan oleh seorang Shahabat atau
Shahabiat, yang di dalam Islam memiliki kedudukan yang istimewa.
Sebagian ulama bahkan berpendapat bahwa ucapan Shahabat termasuk dalil
syar’i yang bisa dijadikan rujukan untuk melakukan amal perbuatan.
Asma Binti Abu Bakar dalam Islam dikenal dengan julukan “Dzatu An Nithaqayn”
yakni Wanita Dengan Dua Ikat Pinggang. Beliau mendapat julukan ini
karena membawakan makanan untuk Rasulullah SAW dan Abu Bakar ketika
hijrah dan memutuskan untuk membagi ikat pinggangnya menjadi dua untuk
mengikat makanan dan air sehingga mereka dapat membawanya.
Sementara
itu, Abdullah bin Zubair, dikenal dalam Islam sebagai seorang pemuda
dan pejuang yang berani dan selalu siap berjuang untuk Islam. Dalam
kehidupan sehari-hari beliau juga dikenal sangat tekun beribadah, dan
sebagaimana pesan ibundanya, beliau juga mengakhiri hidupnya sebagai
orang yang syahid dalam memperjuangkan Islam.
Syekh Umar Bakri Muhammad dalam bukunya “Hal Qowl as-Sahabah Hujjah fid Deen?” mendefinisikan ucapan Shahabat sebagai :
“Apa
saja yang terkait dengan rantai periwayatan yang shahih dan tidak
terdapat kontradiksi di dalamnya dengan dalil-dali syar’i (Al Qur’an
dan Hadits), baik itu berupa perbuatan, perkataan, persetujuan
(terhadap sesuatu) maupun pendapat.”
Dalam
buku tersebut dijelaskan posisi Shahabat Rasulullah SAW yang begitu
tinggi dan mulia dalam Islam, dikarenakan mereka adalah orang-orang
yang mendapatkan pengajaran langsung tentang Islam dari Nabi Muhammad
SAW. Dengan demikian, merekalah, alias para Shahabat yang paling tahu
dan mengerti makna Islam dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak
dalil Al Qur’an maupun hadits yang menjelaskan posisi para Shahabat
dalam Islam yang begitu tinggi dan kewajiban kaum Muslimin untuk
mengikuti mereka. Beberapa ayat menjelaskan masalah tersebut, di
antaranya:
“Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara
orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah
dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah (9) : 100)
“Sesungguhnya
Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji
setia kepadamu di bawah pohon , maka Allah mengetahui apa yang ada
dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi
balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al Fath (48) : 18)
Dalam hadits Nabi SAW., terdapat banyak kemuliaan dan perintah untuk selalu berpedoman kepada para Shahabat, di antaranya :
“Sebaik-baik ummatku adalah generasiku (Shahabat), kemudian generasi
sesudahnya (tabi’in), dan kemudian yang sesudahnya (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Muliakanlah para Shahabatku, karena mereka adalah yang terbaik di antara kalian.” (HR. Ahmad, An Nasa’iy dan Al Hakim)
“Kalian
akan senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian masih ada orang
yang pernah melihatku dan bersahabat denganku. Demi Allah, kalian akan
senantiasa dalam kebaikan selama diantara kalian ada orang yang pernah
melihatku dan bersahabat denganku.” (HR. Ibnu Abi Syaybah, Ibnu Abi’ ‘Ashim, Ath Thabraniy, dan Abu Nu’aym)
“Bintang-bintang
adalah penjaga langit, apabila bintang-bintang itu hilang, maka akan
datang bagi penduduk langit tersebut apa yang dijanjikan. Aku adalah
penjaga para Shahabatku, apabila aku meninggal maka akan datang bagi
para Shahabatku apa yang dijanjikan. Dan para Shahabatku adalah para
penjaga ummatku, apabila para Shahabatku meninggal, maka akan datang
bagi ummatku apa yang dijanjikan.” (HR. Muslim)
Dikarenakan ucapan atau qaul Shahabat juga merupakan dalil syar’i yang bisa dijadikan hujjah
(argumen) dalam agama dan hasilnya dapat dipergunakan oleh ummat Islam
dalam kehidupan mereka sehari-hari, maka moto atau slogan Isy Kariman aw Mut Syahidan yang diucapkan oleh ibunda Abdullah bin Zubair patut menjadi perhatian dan kajian bagi kaum Muslimin.
Makna Hidup Mulia Dalam Islam
Secara
fitrah, setiap manusia pasti mendambakan kehidupan mulia. Bagi setiap
Muslim, setiap harinya mereka selalu berdoa kepada Allah SWT., agar
diberikan kehidupan mulia di dunia, dan begitu pula di akhirat, Robbana atina fi dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah. Hanya saja perlu diperjelas, kehidupan seperti apa yang dianggap mulia dalam pandangan syariat Islam.
Hidup
mulia dalam Islam hanya bisa tercapai jika fungsi dan esensi manusia
diciptakan oleh Allah SWT bisa diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Fungsi dan esensi tersebut adalah menjadi abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah (khalifah Allah) di muka bumi. Kedua tugas suci tersebut telah disampaikan secara tegas sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS Adz Dzaariyat (51) : 56)
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…”. (QS Al Baqarah (2) : 30)
Dua
fungsi dan esensi hidup mulia dalam pandangan Islam tersebut hanya
bisa terealisir dalam kehidupan sehari-hari dalam bingkai syariat Islam
yang menaungi. Bahkan kehidupan mulia di bawah naungan syariat Islam
inilah yang mampu memberikan rahmat tidak hanya kepada orang Muslim,
melainkan kepada seluruh alam, sebagaimana firmanNya :
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al Anbiyaa’ (21) : 107)
Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan:
Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia telah menjadikan Muhammad SAW.,
sebagai rahmat bagi semesta alam. Yaitu, Dia mengutusnya sebagai rahmat
bagi kalian semua. Barangsiapa yang menerima dan mensyukuri nikmat
ini, niscaya dia akan berbahagia di dunia dan di akhirat. Sedangkan
barangsiapa yang menolak dan menentangnya, niscara dia akan merugi
dunia dan akhirat.
Maka dapat
difahami bahwa hidup mulia dalam pandangan Islam hanya dapat dicapai
jika Risalah Islam beserta syariat Islam diterima, diyakini dan
diamalkan oleh manusia sebagai pedoman hidupnya dalam seluruh aspek
kehidupan. Kehidupan mulia tidak hanya akan tercapai di dunia bahkan
juga di akhirat, bahkan rahmat atau kemuliaan juga akan melingkupi
seluruh alam semesta. Untuk tujuan inilah, kehidupan dan perjuangan
seorang Muslim diarahkan, sehingga kalaupun dia belum berhasil
mencapainya, namun dia telah mengupayakannya dan tetap yakin bahwa
Allah SWT suatu saat pasti akan memberikan hal tersebut kepada
hamba-hambaNya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan
Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan
dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam
ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan
tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang
fasik.” (QS An Nuur (24) : 55)
Mengapa Mati Syahid Menjadi Dambaan?
Dalam
Islam dan bagi kaum Muslimin telah maklum bahwa hidup di dunia tidak
selamanya dan kehidupan di akhiratlah yang abadi dan harus menjadi
prioritas dan diusahakan semaksimal mungkin pencapaiannya.
Tidak berguna jika hidup di dunia mulia, kaya raya, berumur panjang, namun akhirnya menemui kematian dengan buruk (su’ul khatimah).
Karena yang menjadi perhitungan dan menentukan bagi kehidupan
seseorang adalah bagian akhirnya, apakah berakhiran atau menemui
kematian dengan buruk (su’ul khatimah) atau berakhiran dengan baik (khusnul khatimah).
Nabi SAW bersabda :
“Sesungguhnya
seorang hamba benar-benar telah beramal dengan amalan ahli neraka
padahal sesungguhnya ia termasuk ahli surga, dan beramal dengan amalan
ahli surga padahal ia termasuk ahli nereka. Dan sesungguhnya amal-amal
itu tergantung penutupannya.” (HR. Bukhari)
Syekh Abdul Baqi Ramdhun dalam bukunya “Al Jihaadu Sabiluna” mengatakan :
‘Islam
mendorong kaum Muslimin untuk berjihad di jalan Allah dan menggesa
mereka untuk terjun ke kancah kancah peperangan dan pertempuran dalam
rangka meninggikan kalimat Allah, memberanikan mereka untuk menerjang
bahaya dan kesulitan demi memperoleh ridha Allah, serta memotivasi
mereka agar senang menyongsong maut dengan lapang dada, hati tegar, dan
jiwa yang tenang lantaran menginginkan apa yang ada pada sisi Allah.
Dan Allah telah membesarkan ganjaran dan pahala atas amal tersebut
serta melimpahkan keutamaan dan anugerah di dalamnya.’
Beliau
di dalam bukunya juga menjelaskan bahwa Allah SWT telah menyiapkan
bagi mujahidin dan orang-orang yang mati syahid di jalanNya berbagai
karomah, anugerah, ketinggian maqom, dan ketinggian kedudukan yang
tidak dapat dicapai melalui ibadah-ibadah yang lain bahkan lewat
shalat, zakat, puasa, haji, serta seluruh bentuk ibadah dan qurobah (pendekatan
diri kepada Allah yang lain). Dengan penjelasan ini, tidak heran
mengapa mati syahid menjadi kematian yang begitu tinggi kedudukan dan
keistimewaannya dalam pandangan Islam dan menjadi dambaan setiap Muslim
yang mengerti serta memahami permasalahan tersebut.
Syekh Usamah bin Ladin dalam video The Caravan of Syuhada mengatakan :
“Penutup
para nabi dan rasul, Muhammad SAW., mengharapkan kedudukan ini.
Perhatikan dan renungkan kedudukan seperti apakah yang diharapkan oleh
sebaik-baiknya manusia ini. Beliau berharap menjadi seorang syahid.
Demi jiwa Muhammad yang ada di tangan-Nya. Sungguh aku berharap bisa
berperang lalu aku terbunuh, kemudian (hidup lagi) untuk berperang lalu
aku terbunuh, kemudian (hidup lagi) untuk berperang lalu aku terbunuh.
(Al Hadits)
Hidup
yang lama dan panjang ini diringkas oleh Nabi SAW dengan petunjuk
Allah SWT., dalam sabda Beliau di atas. Beliau sangat menginginkan
kedudukan ini Orang yang bahagia adalah orang yang telah dipilih oleh
Allah SWT sebagai seorang syahid.”
Syekh Jabir bin Abdul Qoyyum As Sa’idi Asy Syami dalam bukunya “Al Ishobah Fii Tholabisy Syahaadah” menjelaskan mengapa mati syahid atau menjadi syuhada itu begitu memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Islam.
Diriwayatkan dari Sahal bin Hanif, ia dari bapaknya, bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Nabi SAW., bersabda:
Barangsiapa
memohon mati syahid kepada Allah dengan tulus, niscaya Allah akan
menyampaikannya ke derajat para syuhada’ meskipun ia mati di atas
kasurnya. (HR Muslim, Tirmidzi, Nasai, dan Abu Daud)
Diriwayatkan
dari Abu Is-haq, dari Al Barro’, ia berkata: Seseorang dari Bani An
Nabit dari kalangan anshar datang lalu berkata: Aku bersaksi bahwasanya
tidak ada ilah (sesembahan yang benar) kecuali Allah dan
bahwasanya engkau adalah hamba dan utusan-Nya. Kemudian ia maju dan
berperang sampai terbunuh. Maka Nabi SAW., bersabda :
Orang ini beramal sedikit namun diberi pahala banyak. (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Dengan
demikian, dalam pandangan Islam sesungguhnya keberhasilan yang paling
utama dan anugrah yang paling baik yang didapatkan oleh seseorang itu
adalah jika Allah memilihnya untuk mati syahid.
Nabi SAW bersabda kepada seorang sahabat yang berdo’a kepada Allah dengan mengucapkan:
Ya Allah berikanlah kepadaku apa yang paling baik yang telah Engkau berikan kepada hamba-Mu yang sholih.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang tersebut:
Jika demikian kudamu akan tersembelih dan engkau akan mati syahid di jalan Allah.
Maka
Mut Syahidan atau mati syahid atau mati sebagai seorang syuhada (orang
yang berjihad di jalan Allah SWT) adalah kedudukan yang sangat besar
dan tinggi yang tidak akan diraih kecuali oleh orang yang layak untuk
mendapatkannya.
Dalam hadits lain disebutkan :
“Dikatakan,
“Wahai Rasulullah, amal apa yang dapat menyamai (pahala) jihad fi
sabilillah ? Nabi bersabda, “Kalian tidak mampu melaksanakannya.” Lalu
mereka mengulang pertanyaan itu atau tiga kali, dan semua dijawab,
“Kalian tidak mampu melaksanakannya.” ! Lalu Nabi bersabda, Perumpamaan
mujahid fi sabilillah seperti orang yang shaum (puasa) dan shalat
malam dan membaca ayat-ayat Allah dan tidak berhenti melakukan shiyam
dan sholat sampai seorang mujahid fi sabilillah kembali.” (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik rodliyallohu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Tidak
ada seseorang yang telah mati yang mendapatkan kebaikan di sisi Allah,
kemudian dia ingin kembali ke dunia atau ia diberi dunia dan seisinya
kecuali orang yang mati syahid. Sesungguhnya orang yang mati syahid itu
berharap untuk dapat kembali ke dunia lalu ia terbunuh di dunia
lantaran keutamaan mati syahid yang ia lihat. Dan di dalam riwayat lain
disebutkan: lantaran kemuliaan yang ia lihat.
Khatimah
Jadi
tidak ada yang salah dengan mati syahid. Mati syahid bukanlah sebuah
kematian yang sia-sia, terhina, harus ditangisi, dilecehkan dan
ditakutkan oleh seorang Muslim. Karena mati syahid, mati ketika
memperjuangkan agama Allah SWT atau jihad fi sabilillah, adalah sebuah
kematian yang sangat tinggi dan mulia kedudukannya di dalam Islam, yang
tidak mungkin dicapai dan diraih kecuali oleh orang-orang yang memang
dipilih oleh Allah SWT.
Nabi
Muhammad SAW sebagai contoh dan teladan kaum Muslimin memberikan
ilustrasi yang begitu indah tentang mati syahid, dimana beliau begitu
menginginkannya dan berharap bisa mencapainya. Bukankah ini menjadi
sebuah bukti yang tidak terbantahkan?
Adapun
kehidupan mulia dalam Islam juga bukan berarti hidup mewah dan
berfoya-foya serta lantas lupa kepada Sang Pencitpa, Allah SWT,
sebagaimana sangkaan orang kebanyakan yang hidup pada saat ini. Hidup
mulia di dunia dalam pandangan Islam adalah sebuah ketundukan total
seorang manusia, baik sebagai seorang hambaNya, dan juga sebagai
khalifahNya.
Kehidupan mulia di dunia hanya bisa tercapai jikalau seluruh syariat Islam diberlakukan secara kaafah
(totalitas) sehingga tidak hanya orang Muslim yang akan mendapatkan
rahmat, orang non Muslim juga akan mendapatkan rahmat, bahkan alam
semesta. Maka sudah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim untuk dapat
meraih kehidupan mulia di dunia, yakni dengan jalan selalu mengupayakan
tegaknya syariat Islam di muka bumi.
Dengan
demikian, betapa indah dan bertujuan indah, serta penuh maknanya
semboyan dan slogan yang telah diucapkan oleh Shahabat dan kini menjadi
populer kembali, yakni Isy Kariman aw Mut Syahidan. Hidup
Mulia Atau Mati Syahid. Keduanya adalah kebaikan yang sangat didambakan
oleh setiap Muslim. Semoga kita bisa meraih salah satu dari keduanya,
Insya Allah…! Arrahmah
Sumber: http://meisusilo.wordpress.com/
0 comments:
Posting Komentar