Posted on 11 Juli 2012
Suatu
ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah
seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya
gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang
yang tak bahagia.
Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak
Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil
segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air.
Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba,
minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..”, ujar Pak tua itu.
“Pahit. Pahit sekali”, jawab sang tamu, sambil meludah kesamping.
Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk
berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua
orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi
telaga yang tenang itu.
Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga
itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan
tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. “Coba, ambil air dari
telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak
Tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya?”.
“Segar.”, sahut tamunya.
“Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?”, tanya Pak Tua lagi.
“Tidak”, jawab si anak muda.
“Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?”, tanya Pak Tua lagi.
“Tidak”, jawab si anak muda.
Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia
lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu.
“Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam
garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama,
dan memang akan tetap sama.
“Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah
yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat
kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita.
Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada
satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya.
Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”
Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. “Hatimu, adalah wadah
itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung
segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah
laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya
menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan
Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan “segenggam garam”, untuk
anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.
0 comments:
Posting Komentar