Kesempurnaan Islam & Konsekuensinya
(Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari)
Di zaman ini, kita melihat berbagai perkara baru telah ditambahkan ke dalam agama Islam. Baik tambahan itu berupa keyakinan, amalan, prinsip dan kaidah, atau yang lainnya. Hal ini benar-benar merusak kesucian Islam dalam urusan agama. Padahal Allâh Ta'âla telah menyempurnakan agama Islam ini bagi hamba-hamba- Nya, dan ini termasuk nikmat Allâh Ta'âla terbesar. Maka selayaknya orang-orang Islam meridhai agama Islam ini, sebagaimana Allâh Ta'âla telah meridhainya. Demikian juga, seharusnya mereka merasa cukup dengan ajaran agama Islam ini, karena memang Allâh Ta'âla telah menyempurnakan nikmat-Nya.
Dalam rangka mengingatkan kesempurnaan
agama Islam –yang telah kita diketahui bersama– dan mengingatkan
konsekuensinya –yang mungkin banyak dilalaikan oleh sebagian orang–,
ada 2 hal pokok yang perlu kita ketahui bersama:
1. |
Termasuk prinsip agama yang wajib diyakini,
iman seseorang tidak sah tanpa keyakinan ini, adalah bahwa
agama Islam telah disempurnakan oleh Allâh Ta'âla .
Maka, tugas manusia adalah mempelajari, mendengar dan mentaati.
Allâh Ta'âla berfirman:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu
dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agamamu. (Qs al-Mâidah/5:3) Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata dalam tafsirnya:
“Ini merupakan nikmat
Allâh Ta'âla terbesar kepada umat ini, yaitu Allâh Ta'âla
menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan
agama apapun selainnya, dan mereka tidak membutuhkan seorang
Nabi-pun selain Nabi mereka. Oleh karena inilah Allâh Ta'âla
menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan (Allâh Ta'âla)
mengutus beliau kepada seluruh manusia dan jin. Tidak ada yang
halal kecuali apa yang beliau halalkan. Tidak ada yang haram
kecuali apa yang beliau haramkan. Tidak ada agama kecuali apa
yang beliau syari’atkan. Segala sesuatu yang beliau beritakan,
maka hal itu haq dan benar (sesuai kenyataan), tidak ada
kedustaan padanya dan tidak ada kesalahan”. [1]
|
2. |
Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam
berkewajiban menyampaikan agama, dan beliau telah
melakukannya dengan sebaik-baiknya.
Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam telah
menyampaikan agama Islam dengan sempurna, tanpa dikurangi.
Maka, tidaklah beliau wafat kecuali agama ini telah sempurna,
tidak membutuhkan tambahan.
Allâh Ta'âla telah menjadi saksi (surat al-Mâidah
ayat 3) tentang hal ini, demikian juga orang-orang yang
beriman. Dan cukuplah Allâh Ta'âla sebagai saksi.
Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam telah bersabda:
Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun sebelumku
melainkan wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang dia ketahui kepada umatnya dan memperingatkan keburukan yang dia ketahui kepada mereka. (HR. Muslim no. 1844)
Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam juga bersabda:
Tidaklah aku meninggalkan sesuatu
dari apa yang Allâh perintahkan kepada kamu kecuali aku telah memerintahkannya, dan tidak pula aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allâh Ta'âla larang kepada kamu kecuali aku telah melarangnya.[2] Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam juga bersabda:
Tidaklah tersisa sesuatu pun
yang bisa mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka, melainkan telah dijelaskan kepada kamu.[3] Al-Irbâdh bin Sariyah radhiyallâhu'anhu berkata:
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam memberikan nasehat kepada kami
dengan nasehat yang menyentuh hati, menjadikan mata bercucuran air mata dan hati bergetar karenanya. Kemudian kami bertanya: ”Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya ini benar-benar nasehat orang yang berpamitan, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?” Beliau bersabda: “Aku telah meninggalkan kalian di atas (agama) yang putih (terang, jelas); malamnya seperti siangnya, tidak ada seorang pun menyimpang darinya, melainkan orang yang binasa. Barangsiapa di antara kalian yang hidup setelahku, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sesuatu yang kalian ketahui dari Sunnahku dan Sunnah para Khulafâur Râshidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah tersebutdengan geraham-geraham kalian. Hendaklah kalian taat walaupun kepada budak Habsyi (yang menjadi pemimpinmu), karena seorang Mukmin itu seperti onta yang penurut, kemana ia di bawa, ia tunduk.” [4] |
KONSEKUENSI KESEMPURNAAN ISLAM
Setelah mengetahui dengan pasti
kesempurnaan agama Islam ini, maka di antara konsekuensinya adalah
bahwa kita tidak boleh menambahkan sesuatu pun yang baru dalam agama
ini, sebagaimana kita juga tidak boleh menguranginya. Inilah yang
dipahami oleh para Ulama semenjak dahulu. Sebagian dari perkataan
mereka di antaranya:
1. |
Imam Mâlik bin Anas rahimahullâh berkata:
“Barangsiapa
membuat bid’ah (perkara baru) di dalam Islam dan dia
memandangnya sebagai suatu kebaikan, maka, sungguh dia telah
menyangka bahwa Nabi Muhammad mengkhianati risalah (tugas
menyampaikan agama) ini, karena Allâh telah berfirman:
"Pada hari ini telah
Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu."
(Qs al-Mâidah/5:3).
Oleh karena
itu, segala sesuatu yang pada hari itu bukan dari agama, pada
hari ini pun juga bukan dari agama”. [5]
|
2. |
Imam asy-Syâthibi rahimahullâh berkata:
“Sesungguhnya
orang yang menganggap baik suatu bid’ah, secara umum memuat
konsekuensi bahwa menurutnya syari’at itu belum sempurna,
sehingga firman Allâh Ta'âla, ”Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk
kamu agamamu”, tidak memiliki nilai makna menurut
mereka”.[6]
Maka orang yang demikian adalah orang yang sesat dari jalan yang lurus.
|
3. |
Iman asy-Syaukâni rahimahullâh berkata:
“Jika Allâh Ta'âla
telah menyempurnakan agama-Nya sebelum mewafatkan Nabi-Nya,
maka apakah perlunya pemikiran/pendapat baru, padahal Allâh
Ta'âla telah menyempurnakan agama-Nya. Jika menurut
keyakinan mereka pemikiran baru itu termasuk agama, maka agama
ini menurut mereka belum sempurna; kecuali dengan pemikiran
mereka. Yang berarti bahwa keyakinan mereka ini membantah
al-Qur’ân. Jika itu bukan dari agama, maka apa gunanya
menyibukkan diri dengan perkara yang tidak termasuk agama. Ini
adalah argumen yang sangat kuat dan bukti yang agung. Orang
yang membuat pemikiran baru tidak mungkin membantahnya
dengan bantahan apapun selamanya. Maka jadikanlah ayat yang mulia ini
(Qs al-Mâidah ayat 3) pertama kali untuk menampar wajah
ahli ra’yi (pengagung akal), menghinakan mereka, dan
menghancurkan hujjah mereka”.[7]
|
4. |
Syaikh Muhammad Sulthân Al-Ma’shûmi rahimahullâh berkata:
“Jalan-jalan agama dan
ibadah-ibadah yang benar hanyalah yang telah dijelaskan oleh
Sang Pencipta makhluk lewat lisan Rasul-Nya, Muhammad
shallallâhu 'alaihi wasallam. Maka, barangsiapa menambah atau
menguranginya berarti dia telah menyelisihi Allâh Ta'âla yang
Maha Bijaksana, Maha Mencipta dan Maha Mengetahui, sebab dia
meramu obat-obat bagi dirinya sendiri. Padahal, kemungkinan
obat itu malah akan menjadi penyakit, dan ibadahnya
menjadi maksiat tanpa dia sadari. Karena agama ini telah
sempurna, maka barangsiapa menambah ajaran baru dalam agama,
berarti dia menyangka bahwa agama ini kurang (sempurna),
lalu dia menyempurnakannya dengan anggapan baik menurut
akalnya yang rusak dan khayalnya yang tidak laku”.[8]
|
SIKAP SALAF TERHADAP PERKARA BARU DALAM AGAMA
Dari uraian di atas menjadi jelaslah bahwa ibadah
itu harus mengikuti dalil dari al-Qur’ân atau Sunnah dengan pemahaman
yang benar dari para Salaf. Oleh karena itu para Salafus Shalih
mengingkari cara-cara ibadah yang tidak dituntunkan; atau
perkara-perkara yang ditambahkan di dalam ibadah yang telah
dituntunkan; walaupun manusia menganggapnya sebagai kebaikan. Karena
memang ibadah itu akan diterima dengan dua syarat yaitu ikhlas dan
ittibâ’ (mengikuti tuntunan Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam ).
Tentang syarat ikhlas, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
Sesungguhnya Allâh tidak akan menerima dari semua jenis amalan
kecuali yang murni untuk-Nya dan untuk mencari wajah-Nya.[9]
kecuali yang murni untuk-Nya dan untuk mencari wajah-Nya.[9]
Tentang syarat ittibâ’ (mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam), beliau shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami (agama) ini,
sesuatu yang tidak ada contohnya, maka urusan itu tertolak.
(HR. Bukhâri no. 2697; Muslim no. 1718)
sesuatu yang tidak ada contohnya, maka urusan itu tertolak.
(HR. Bukhâri no. 2697; Muslim no. 1718)
Dalam riwayat lain dengan lafazh:
Barangsiapa melakukan suatu amalan
yang tidak ada padanya tuntunan kami,
maka amalan itu tertolak.
(HR. Muslim no. 1718)
yang tidak ada padanya tuntunan kami,
maka amalan itu tertolak.
(HR. Muslim no. 1718)
Sebagian orang ketika melakukan ibadah bid’ah (ibadah baru yang tidak dituntunkan), lalu diingkari, dia segera menjawab: “Apa sih jeleknya berdzikir”, “Apa sih jeleknya berdoa”, “Apa sih jeleknya membaca al-Qur’ân”, dan semacamnya. Padahal yang diingkari itu bukan masalah berdzikir, berdoa, atau membaca al-Qur’ân. Tetapi yang diingkari adalah tata-cara ibadah mereka di dalam berdzikir, berdoa, atau membaca al-Qur’ân yang menyelisihi Sunnah Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam dan membuat tambahan di dalam agama yang sudah sempurna. Sehingga, ibadah mereka tidak memenuhi syarat ittibâ’, walaupun seandainya mereka ikhlas.
Karenanya, disini disampaikan beberapa sikap
Salafus shalih tentang pengingkaran mereka terhadap berbagai tambahan
dalam agama, walaupun mungkin di zaman sekarang orang menganggapnya
sebagai suatu kebaikan. Namun, sebaik-baik generasi adalah para
Sahabat, sehingga pemahaman para Sahabat itulah yang harus dijadikan
rujukan di dalam beragama. Di antara riwayat tersebut adalah:
1. |
Kisah Abu Abdurrahmân Abdullâh bin Mas’ûd radhiyallâhu'anhu
Kisah terkenal tentang perbuatan Abdullâh bin Mas‘ûd radhiyallâhu'anhu
yang mendatangi jama’ah dzikir yang berkelompok-kelompok
memegang kerikil. Setiap kelompok dipimpin satu orang. Pemimpin itu
memerintahkan: “Bertakbirlah 100 kali”, mereka pun melakukannya.
Dia juga memerintahkan agar jama’ah bertahlil 100 kali dan
bertasbih 100 kali, mereka juga melakukannya. Maka Abdullâh bin
Mas’ûd radhiyallâhu'anhu berkata kepada mereka:
“Apakah ini –yang aku lihat kamu lakukan–?”
Mereka menjawab:
“Wahai Abu Abdurrahmân, ini kerikil. Kami menghitung takbir, tahlil, dan tasbih dengannya.”
Beliau berkata:
“Hitung saja
keburukan-keburukan kamu! Aku menjamin kebaikan-kebaikan kamu
tidak akan disia-siakan sedikit pun. Kasihan kamu, wahai umat
Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam, alangkah cepatnya
kebinasaan kalian! Ini, masih banyak para Sahabat Nabi kamu.
Ini, pakaian beliau belum usang, dan bejana-bejana beliau belum
pecah. Demi Allâh yang jiwaku berada di tangan-Nya,
sesungguhnya kamu berada di atas agama yang lebih baik dari
agama Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam, atau kamu adalah
orang-orang yang membuka pintu kesesatan”.
Mereka berkata:
“Demi Allâh Ta'âla, wahai Abu Abdurrahmân, kami tidak menghendaki kecuali kebaikan”.
Beliau menjawab:
“Alangkah banyak orang
yang menghendaki kebaikan, tetapi tidak
mendapatkannya”. Sesungguhnya Rasulullâh shallallâhu 'alaihi wasallam
telah memberitakan kepada kami:
“Bahwa ada sekelompok orang yang membaca al-Qur’ân,
namun al-Qur’ân tidak melewati tenggorokan mereka”. “Demi Allah, aku tidak tahu, kemungkinan mayoritas mereka itu adalah dari kamu”.
Kemudian Ibnu Mas`ud radhiyallâhu'anhu meninggalkan mereka. [10]
|
2. |
Kisah Abdullah bin ‘Umar radhiyallâhu'anhu Nâfi’ Maula Ibnu ‘Umar radhiyallâhu'anhu bercerita:
Bahwa seorang laki-laki bersin di samping Ibnu ‘Umar
radhiyallâhu'anhu, lalu dia berkata: “Alhamdulillâh wassalâmu ‘ala rasûlillâh”! Ibnu ‘Umar radhiyallâhu'anhu berkata: “Aku katakan, Alhamdulillâh wassalâmu ‘ala rasûlillâh, bukan begini yang diajarkan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Beliau telah mengajari kita untuk mengucapkan: “Alhamdulillâh ‘ala kulli hâl”. [11] |
3. |
Sa’îd bin Al-Musayyib rahimahullâh Abu Rabah, seorang lelaki tua dari keluarga ‘Umar radhiyallâhu'anhu berkata:
Sa’îd bin Al-Musayyib melihat seorang laki-laki
melakukan shalat dua raka’at setelah Ashar; dan dia sering melakukannya. Maka beliau melarangnya. Laki-laki itu berkata: “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan menyiksaku karena shalat?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi Dia akan menyiksamu karena menyelisihi Sunnah (tuntunan Nabi)”. [12] Setelah membawakan riwayat ini, Syaikh al-Albâni rahimahullâh berkata:
“Ini termasuk
jawaban-jawaban Sa’îd bin Al-Musayyib rahimahullâh yang
mengagumkan. Merupakan senjata yang kuat untuk melawan para
pelaku bid’ah, orang-orang yang menganggap baik banyak dari
perkara-perkara bid’ah dengan sebutan bahwa itu adalah dzikir dan
shalat!!
Kemudian mereka
mengingkari ahlus sunnah yang telah mengingkari bid’ah
mereka itu. Mereka menuduh Ahlus sunnah mengingkari dzikir dan
shalat!! Sedangkan sebenarnya, Ahlus sunnah itu hanyalah
mengingkari ahli bid’ah yang menyelisihi sunnah di dalam
dzikir, shalat dan semacamnya”.[13]
|
4. |
Imam Mâlik bin Anas rahimahullâh Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullâh berkata:
“Imam Malik rahimahullâh didatangi seorang lelaki, lalu bertanya:
“Wahai Abu ‘Abdillâh, dari mana aku berihram?”
Beliau menjawab:
“Dari Dzul Hulaifah, tempat Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dahulu berihram”.
Lelaki tadi berkata:
“Aku ingin berihram dari masjid di dekat kubur”.
Imam Mâlik rahimahullâh berkata:
“Jangan engkau lakukan, aku khawatir musibah akan menimpamu”.
Dia menjawab:
“Musibah apa tentang ini?”
Imam Mâlik rahimahullâh berkata:
“Musibah mana yang lebih besar dari anggapanmu bahwa engkau meraih keutamaan yang Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam tidak dapat meraihnya? Sesungguhnya aku mendengar Allâh Ta'âla berfirman:
Maka hendaklah orang-orang yang
menyalahi perintah-nya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (Qs an-Nûr/24:63)[14] |
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas kita mengetahui
bahwa agama Islam ini telah dinyatakan sempurna oleh Allâh Ta'âla dan
Rasul-Nya. Demikian juga diakui oleh para Sahabat Nabi shallallâhu
'alaihi wasallam dan para Ulama setelah mereka. Maka, segala macam
tambahan dan perkara baru di dalam agama ini adalah tertolak. Karena
setelah jelas al-haq, semua yang bertentangan dengannya adalah
kebatilan. Semoga Allâh Ta'âla selalu menganugerahkan kepada kita
keikhlasan di dalam niat dan kebenaran dengan mengikuti Sunnah. Amin.
[1] | Tafsir Al-Qur’ânil ‘Azhîm, karya Imam Ibnu Katsîr surat al-Mâidah ayat 3 |
[2] | Hadits Shahîh dengan
seluruh jalur riwayatnya. Riwayat Syâfi’i, al-Baihaqi, al-Khathib
al-Baghdâdi, dan lainnya. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni di
dalam Silsilah ash-Shahîhah 4/416-417 dan Syaikh Ahmad Syâkir dalam
Ta’lîqur-Risâlah, hlm. 93-103. Dinukil dari Al-Bid’ah Wa Atsaruha As-Sayyi’ Fil Ummah, hlm 25 |
[3] | Hadits Shahîh. Lihat penjelasannya di dalam Ar-Risâlah karya Imam Syâfi’i, hal 93 Ta’lîq Syaikh Ahmad Syâkir. Dinukil dari ‘Ilmu Ushûlil Bida’, hlm 19. |
[4] | Hadits Shahîh. Riwayat Ibnu Mâjah no. 43; Ahmad 4/126; dan Ibnu Abi ‘Ashim no. 48, 49. |
[5] | Kitab Al-I’tishâm, juz: 2, hal: 64, karya Imam Asy-Syâtibi |
[6] | Kitab Al-I’tishâm, juz: 1, hal: 111, karya Imam Asy-Syâtibi |
[7] | Al-Qaulul Mufîd, hal. 38 |
[8] | Miftâhul Jannah, Lâ ilâha illallâh, hal. 58 |
[9] | HR. Nasâi, no 3140; Lihat: Silsilah Ash-Shahîhah, no. 52; Ahkâmul Janâiz, hal. 63 |
[10] | Hadits Shahîh Riwayat Ad-Dârimi di dalam Sunannya, juz 1, hlm. 68-69, no. 206; dan Bahsyal di dalam Târîkh Wasith, hlm. 198-199. Lihat: Al-Bid’ah, hlm. 43-44; Ilmu Ushûl Bida’, hlm. 92 |
[11] | Hadits Hasan Riwayat Tirmidzi, no. 2738; dll. Lihat Ilmu Ushûl Bida’, hlm. 71 |
[12] | Riwayat Shahîh. Diriwayatkan oleh Darimi, juz 1, hlm. 116, no. 437, dll. Lihat Ilmu Ushul Bida’, hlm. 71 |
[13] | Irwâul Ghalîl, juz. 2, hlm. 236 |
[14] | Riwayat Al-Khathib di dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, juz. 1, hlm. 148; dll. Lihat ‘Ilmu Ushul Bida’, hlm. 72 |
(Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIII)
0 comments:
Posting Komentar