Awas jangan salah pilih Mengaji !


Awas jangan salah pilih! Nasehat ini berlaku bagi siapapun yang ingin belajar agama. Hati-hatilah sebelum bergabung dengan kelompok tertentu. Lantaran merebaknya aliran-aliran menyesatkan yang bermunculan di negeri ini. Seperti kisah Anton, dua tahun lamanya ia bersama kelompok pengajian yang mengajarkan ilmu pellet, tembus pandang maupun teluh. Ia menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghaib.
Senja itu, aku duduk di beranda rumah. Di atas dipan bambu. Menghadap persimpangan jalan yang selalu ramai. Rumahku memang terletak persis di jalan utama kampung. Lalu lalang orang di persimpangan jalan itu menarik perhatianku. Seorang lelaki tua dengan cangkul di pundak mengiringi langkah-langkah kambingnya. Bercak-bercak lumpur masih menempel di pakaiannya. Tak jauh di belakang lelaki itu, seorang anak muda berjalan santai. Bajunya bersih dengan songkok hitam menghias kepalanya. Rudi, begitu ia biasa kupanggil. Ia tinggal dua gang dari rumahku.
Cukup lama aku diam. Bayangan lelaki tua dan Rudi silih berganti mengisi pikiranku. Lelaki tua itu nampak tak peduli dengan masa depannya. Ia tenggelam dalam kesibukan dunia. Saat matahari nyaris tenggelam, ia baru melengggang pulang. Berbeda dengan Rudi, teman sebayaku yang menghabiskan waktunya di sebuah pesantren di Jawa Timur. Sudah seminggu ini ia ada di rumah.

Adzan Maghrib membuyarkan lamunanku. Aku bergegas mengambil songkok dan menyusul Rudi. Anak muda yang satu ini berbeda dengan pemuda yang biasa kukenal selama ini. “Hai Rud,” sapaku pada Rudi selepas shalat Maghrib. “Hei Ton, kamu makin gemuk saja,” sapanya balik sambil memelukku erat. Obrolan pun berlanjut di serambi masjid sambil menunggu waktu shalat Isya’.
Terus terang, aku tertarik dengan kepribadian Rudi. Ia nampak lebih dewasa dari usianya. Ia pun menuturkan pengalamannya selama ini. Ketenangan dan kedamaian hidup di tengah-tengah santri. Rudi memang lebih memilih mengabdikan diri di pesantren setelah lulus Aliyah (setingkat SMA). Ia menjabat sebagai wali asrama. Sebuah pengalaman yang menarik perhatianku.
Sayangnya, Rudi tak lama tinggal di rumah. Ia harus kembali ke pesantren. Namun, kepribadiannya yang kuat telah meninggalkan kesan mendalam dalam jiwaku. Ia memang sosok pemuda yang berbeda dari teman-temanku yang lain. Jenggotnya yang tipis membuatnya kian berwibawa. Bayangan masa kecil kembali berkelebat. Saat bermain bersama di pematang sawah, bermandi lumpur atau berenang di sungai. Rudi memang berbeda.

Dalam hati, aku ingin seperti dia. Aku ingin memiliki kepribadian yang kuat sepertinya. Haruskah aku mondok di pesantren seperti Rudi? Keinginan yang kuat itu terbentur dengan realita, bahwa aku tidak lagi anak SD. Usiaku sudah delapan belas tahun. Kembali ke pesantren tentu bukan pilihan terbaik bagi seseorang yang telah kuliah di semester satu.

Di tengah semangat yang membara untuk belajar agama itu aku bertemu dengan Dian. Teman SMP yang drop out. Kami memang jarang ngobrol selama ini. Ketika aku bercerita tentang Rudi dan keinginanku untuk belajar agama, Dian mengangguk-angguk pelan. “Ya sudah gabung saja denganku. Ntar malam jam sepuluh di mushalla RT III,” katanya menawariku bergabung dengan pengajian yang biasa diikutinya. Rudi boleh pergi, tapi semangat tidak boleh luntur, pikirku. Malam harinya, aku mampir ke rumah Dian. Tidak enak, bila berangkat sendirian ke pengajian yang belum pernah kuikuti. Kuhentikan mobil dengan kedipan mata.

Mushalla itu tidak terlalu besar. Kira-kira 7 x 12 meter. Deretan sandal-sandal menghias pelataran mushalla saat aku tiba di sana. Pengajian memang belum dimulai, tapi sekumpulan pemuda dan bapak-bapak tenggelam dalam dunianya masing-masing. Sama sekali tak memperhatikan kehadiranku bersama Dian.
“Yan, kok diam semua?” tanyaku penasaran pada Dian. “Biasa, mereka sedang berdzikir. Nanti kamu juga seperti mereka,” jawab Dian sambil mencari tempat duduk di pojok belakang. Aku mengikuti Dian dari belakang. Hanya itu yang bisa kulakukan dalam keterasingan ini.Setengah jam berlalu tanpa ada perubahan. Semua peserta pengajian tenggelam dalam dzikir masing-masing. Kutengok Dian di sebelahku. Ia juga sudah larut dalam dzikirnya. Aku pun terdiam dalam keheningan.

Sekitar jam sebelas, seorang kakek dalam balutan kain putih masuk mushalla. Langkahnya yang tegap tidak dapat menyembunyikan usianya. Orang-orang yang ada di dalam mushalla pun berdiri. Mereka mencium tangan kakek yang baru datang. Oh, ini gurunya gumamku lirih. “Malam ini, kita mengulang kembali dzikir yang kita pelajari minggu lalu,” ujar kakek yang biasa dipanggil dengan guru itu memulai pembicaraannya setelah salam. Aku pun tenggelam dalam dzikir bersama mereka, menghabiskan malam hingga menjelang Shubuh.
Malam itu adalah pengalaman pertama bagiku. Meski kuakui aku lebih banyak diam.
Malam-malam berikutnya, aku selalu hadir dalam pengajian dzikir itu. Aku berusaha mengejar ketinggalan dengan banyak bertanya kepada Dian. Alhasil, aku terbilang seorang murid yang cepat menguasai dzikir yang diajarkan sang guru dalam berbagai bahasanya. Masalah kuliah? Untuk sementara ini tidak ada masalah. Meski banyak bolos, tapi setidaknya sekali dalam seminggu aku sempatkan hadir di kampus. Sekadar bertemu teman-teman atau sesekali masuk ruang kuliah. Orangtua juga tidak mempermasalahkannya. Kumanfaatkan celah kehidupan kampus yang berbeda dengan SMA, seorang mahasiswa tidak harus mengikuti perkuliahan setiap hari.

Aku lebih disibukkan dengan rutinitas dzikir. Setidaknya, saat itu ada nilai lebih yang kurasakan dibandingkan dengan yang kudapat dari bangku kuliah. Tidaklah mengherankan bila gaya kelelawar tidak lagi kupermasalahkan.
Malam begadang pagi mendengkur. Sejatinya, dzikir yang kami lantunkan itu bukan sembarang dzikir. Karena dzikir itu merupakan pintu gerbang penguasaan ilmu kanuragan. Berbagai jenis ilmu kesaktian yang selama ini hanya kudengar satu persatu dapat aku kuasai. Hingga aku masuk dalam lingkar utama murid guru yang terdiri dari lima orang.
Suatu malam, guru mengajari kami dzikir dari surat Ar-Ra’du. “Kalian jangan meremehkan surat Ar-Ra’du. Di dalamnya ada satu ayat yang bisa mendatangkan kekuatan yang mampu menahan laju mobil,” tutur guru mengawali pengajian dzikir malam itu.Menurut penjelasan guru, untuk menguasai dzikir dari surat Ar-Ra’du ini memang tidak mudah. Ia harus dirapal di tempat tertentu dan dalam hitungan tertentu. Akhirnya lima orang murid utama guru sepakat untuk menguasai ilmu yang diambil dari dzikir surat Ar-Ra’du ini. Aku, Emon, Leo, Braja dan Dian dengan ditemani guru pergi ke sumur tujuh di Serang, Banten.
Kami berenam berangkat selepas Maghrib dari Jakarta. Jelang jam sebelas, kami tiba di lokasi sumur tujuh. Waktu itu cuaca kurang bersahabat. Hujan gerimis menyertai langkah-langkah kaki di atas tanah licin. Namun, jalanan yang gelap itu bukan kendala bagi kami. Jalan setapak itu tidak ubahnya seperti jalanan berbatu saja. Kami melangkah dengan pasti dibawah panduan ilmu terang untuk menembus pekatnya malam. Setiba di suatu tempat, kami berpencar. Guru membagi kami berlima. Masing-masing berdzikir di bawah pohon besar di salah satu sumur tujuh itu tanpa ada yang menemani. Aku sendiri kebagian tempat di sumur dua. Sementara guru menunggu kami di pendopo.
Sebelum berpencar guru menyampaikan wejangan terakhir. “Kalau kalian melihat sesuatu yang aneh, biarkan saja. Jangan hiraukan, karena itu adalah bagian dari ujian ilmu ini,” ujar guru. Wejangan itu menjadi bekal bagi kami menuju sumur-sumur masing-masing.Aku masuk kawasan sumur dua, saat jarum jam di tanganku menunjuk angka 12. Tepat di bawah pohon besar, aku duduk bersila. Ku atur nafas dan persiapkan diri sebaik mungkin. Selanjutnya sebuah ayat dari surat Ar-Ra’du dengan lancar menghiasi bibirku. Ayat itu harus kuulang sebanyak 313 kali. Entahlah, mengapa harus dalam hitungan sebanyak itu, kami tidak pernah mempertanyakannya kepada guru.
Satu jam berlalu, gerakan-gerakan aneh di sekitar mulai kurasakan. Di atas kepala, seekor ular menggantung membelit dahan pohon yang cukup besar. Ular itu mendesis. Aku berusaha menguasai diri, bahwa ular itu hanyalah ular jadian. Ia bukan ular yang sesungguhnya dan tidak akan menggigitku. Kudiamkan saja, ular itu bergelayutan sampai akhirnya hilang dengan sendirinya.
Selang beberapa saat kemudian, dari sebelah kanan muncul seekor harimau. Ia mengaum dan mengibas-ngibaskan ekornya. Belum hilang keterkejutanku dari belakang seekor kalajengking besar datang menghampiri. Wejangan guru sebelum berpencar kembali terngiang di telinga. “Jangan hiraukan… Jangan hiraukan,” sekuat tenaga aku berusaha menguasai diri, hingga akhirnya hewan-hewan itu berbalik menjadi pendukung. Mereka tidak lagi menakutkan dengan tingkah polahnya, tapi justru menjadi pendukung. “Teruskan… Teruskan…. Teruskan…,” begitulah kata-kata yang terdengar di telinga.
Malam pun terus merayap menyertai bacaan dzikir surat Ar-Ra’du yang tetap mengalir dari mulutku. Semuanya berakhir ketika Shubuh menjelang. Aku bergegas kembali ke tempat berpisah. Ternyata teman-teman yang lain juga baru datang. Kami berkumpul dan menceritakan pengalamannya. Masing-masing dengan pengalamannya yang berbeda satu sama lain.
Pagi itu, kami langsung balik Jakarta Barat. Sore harinya, kami berkumpul kembali di lapangan bola. Di sanalah, kami melatih ilmu yang baru kami kuasai. Seorang teman melempar sebuah bola tepat ke arah kepalaku. Dan … beberapa detik sebelum menyentuh kepala, kubaca ayat dari surat Ar-Ra’du. Hasilnya, bola itu tertahan hanya beberapa senti dari mata. Kami terkesima. Sulit dipercaya bagaimana bola itu terhenti. Latihan itu terus kami ulang.
Dua hari kemudian, kekuatan dzikir itu aku coba untuk menghentikan mobil.
Kebetulan, salah seorang teman membawa mobilnya ke lapangan. Emon yang menyetir. Ia sudah bersiap di belakang kemudi. Mobil sudah dinyalakan. Sementara aku berdiri di depan mobil. Aku konsentrasi dan merapal dzikir. Sedetik kemudian kuberi kode kepada Emon agar menarik pedal gas. Mobil menderu. Emon kembali menarik pedal gas, tapi mobil tetap tak bergerak. Mobil itu tertahan lajunya. Entah kekuatan apa yang menahannya. Semakin sering berdzikir, ilmuku semakin kuat, hingga akhirnya hanya dengan kedipan mata, sebuah mobil bisa berhenti mendadak. Mataku sanggup menembus tembok

Meski jarang masuk kuliah, bukan berarti nilaiku jelek. Soal ujian tidak menjadi masalah bagiku. Bahkan IP tiga pun kuraih di semester dua. Tak pelak, teman-teman keheranan, bagaimana mungkin seorang mahasiswa yang masuk seminggu sekali dapat nilai bagus. “Ton, kamu datang saat UTS-UTS doang, tapi nilai gedhe-gedhe juga. Percaya nggak percaya,” seloroh Gorda, teman sekelas.
Seloroh Gorda itu kutanggapi dengan senyuman saja.
Mereka tidak tahu, bahwa saat ujian aku biasa merapal dzikir dan menerapkan ilmu tembus pandang. Aku melirik lembar jawaban teman yang terkenal otaknya encer. Wah, itu IP nya tiga lebih, nyontek sama dia saja, pikirku. Berikutnya tinggal membaca wirid tertentu, jawaban dia langsung tergambar di pelupuk mata. Tinggal kutulis ulang di lembar jawaban. Sejatinya ilmu tembus pandang dipergunakan untuk membaca pikiran dan karakter seseorang saat pertemuan pertama. Namun, dalam perkembangannya ilmu ini diterapkan untuk berbagai keperluan. Tidak sebatas membaca pikiran tapi lebih jauh dari itu. Ilmu ini bisa melacak jejak orang yang berada di balik tembok. Atau melihat tubuh seseorang, seperti saat tidak mengenakan pakaian.
Dari tiga puluhan murid hanya tiga orang yang menguasai ilmu ini. Aku salah satu dari mereka. Namun, untuk menerawang seseorang dari balik bajunya, terus terang aku tidak berani melakukannya. Nuraniku menghalangi dan membatasi keinginan iseng itu. Meski pada akhirnya aku sempat kebobolan sekali. Di saat pergi ke pasar, aku terpesona dengan seseorang dan kuterapkan ilmu tembus pandang. Untunglah aku segera tersadar. Aku akhiri petualangan gila itu dengan berwudhu.
Tak terasa, setahun telah berlalu. Pengajian dzikir itu memberiku banyak pelajaran bagaimana menjadi orang sakti. Berbagai jenis ilmu telah kukuasai. Aku pun tidak kalah bersaing dengan seorang dukun yang terang-terangan membuka praktek. Kalau mau, aku bisa seperti mereka. Ilmu pelet sudah kukuasai. Ilmu kebal, tembus pandang, tapak muka, atau bahkan ilmu teluh.
Aku memang tidak mau mengabulkan semua permintaan orang yang minta tolong. Untuk meneluh misalnya. Bila yang mau dikerjai itu orang Islam aku tidak mau. Seperti ketika Vigo, seorang teman sepermainan, mengaku didzalimi oleh atasannya. Uang komisi 20 juta yang seharusnya ia dapatkan, tidak diterimanya. Vigo minta bantuanku. Aku bersedia. Tapi teluh ini tidak untuk membunuhnya, aku hanya ingin memberi pelajaran kepada orang yang mau menang sendiri dan tertawa di atas penderitaan orang lain. Supaya dia juga merasakan betapa susah menjadi orang tersiksa. Tersiksa karena penyakit atau himpitan ekonomi yang menyesakkan dada.
Aku yakin Vigo hanya satu orang dari sekian banyak orang yang telah didzaliminya. Foto, ranting pohon, kain kafan, tanah kuburan dan madat telah siap di atas meja. Kutaruh madat di dalam rokok, lalu kunyalakan. Asap yang mengepul, kutiup ke atas foto sambil merapal mantra. Aku tetap melakukannya hingga madat sebesar biji jagung itu habis. Sementara itu tanah kuburan dan kain kafan kuikat menjadi dua. Satu dilemparkan ke tempat air, dan sebuah ikatan lagi dibungkus plastik lalu ditaruh di bawah ban mobil hingga teluh itu terlindas mobil orang yang akan diteluh. Tak lama kemudian, teluh itu bekerja, bossnya Vigo dibawa ke rumah sakit. Alasannya klise. Dia sakit mendadak. Cukup parah memang, ia sempat pingsan beberapa kali. Melihat perkembangan yang tidak menentu, boss Vigo akhirnya meminta maaf kepada karyawan. Ia mengakui selama ini dia telah berlaku semena-mena. Para karyawan yang menurut Vigo berada di samping ranjang boss hanya bisa menunduk. Di tengah kesedihan itu, sontak keajaiban terjadi. Tiba-tiba boss Vigo tersenyum. Ia merasakan sudah baikan dan tidak butuh infus lagi. Padahal beberapa menit sebelumnya ia masih merasakan sakit. Memang, teluh yang kupelajari mudah dilunturkan. Hanya dengan meminta maaf, maka reaksi teluh itu berangsur menurun.

Guru mengaku sebagai Tuhan.
Aku terhenyak. Pengajian di bulan Januari 2004 membangkitkan nalarku yang selama ini tenggelam dalam buaian kesaktian. Guru yang selama ini kami gugu dan kami tiru mulai membongkar jatidirinya. Ia mengaku sebagai Tuhan yang harus diikuti dan dipatuhi perintahnya. Semua itu bermula ketika ia mengaku berbicara dengan Tuhan. Bukan dalam shalat seperti yang biasa dilakukan seorang muslim. Tapi shalat dengan gayanya sendiri. Aku seakan dibangunkan dari tidur panjang. Aku sadar itu adalah kesalahan fatal yang tidak boleh terjadi. Meski guru meminta murid-muridnya untuk mematuhinya, tapi sejak itu friksi di antara kami mulai terbuka.
Kami berada dalam kebimbangan. Akhirnya Aku dan kelima orang murid utama yang selama ini selalu patuh dan hormat, mulai menyelidiki dengan seksama keseharian guru. Semua itu kami lakukan agar bisa mengambil keputusan terbaik atas kemelut yang berkembang. Hasil dari penyelidikan kami sungguh mengecewakan. Kami dapat bukti bahwa sudah lama guru tidak lagi mengikuti shalat Jum’at. Temuan ini menimbulkan kebimbangan baru. Bila guru tidak shalat Jum’at, tapi mengapa ilmu yang diajarkan selama ini terbukti keampuhannya? Ilmu tembus pandang, tapak muka, pelet, teluh maupun ilmu yang lain.
Kebingungan itu mengantarkan kami untuk bertanya kepada seorang ustadz terpandang di daerah kami. “Jangankan kamu, doa Iblis saja dikabulkan. Kalau manusia ada masanya kapan dikabulkan Allah, Iblis cepat dikabulkan. Karena ia dijanjikan neraka,” kata ustadz dengan bijak. Jawaban itu memuaskan kami, hingga tanpa ragu kami putuskan untuk mengundurkan diri dari perguruan. Ya, kami berlima sebagai murid utama dan paling tinggi penguasaan ilmunya, akhirnya harus mengakhiri kebersamaan kami setelah dua tahun tergabung dalam pengajian dzikir.
Sebenarnya ini bukan keputusan yang ringan, karena guru sempat mengancam. “Ntar pada apes semua kalau jadi mundur,” kata guru dengan suara sedikit ditekan. Sebagai seorang murid yang mengetahui kesaktian guru, wajar bila terbesit kekhawatiran bila guru akan membuktikan ancamannya. Tapi keputusan kami sudah bulat. Apapun yang terjadi kami harus keluar. Karena guru sudah tidak layak lagi dipatuhi dan diikuti perintahnya. Keputusan itu memberiku kesempatan untuk merenungkan kembali apa yang terjadi selama dua tahun belakangan. Perlahan ku ingat kembali kejadian-kejadian yang lalu. Pada akhirnya aku mengambil kesimpulan bahwa telah banyak yang berubah dalam diri ini.
Aku tidak lagi seorang adik yang manis di depan kakak-kakaknya. Aku mudah marah bila ada gurauan yang tidak enak didengar di telinga. Meski aku sadar bahwa itu hanya gurauan, tapi itulah yang terjadi. Hingga aku jarang berbincang-bincang dengan saudaraku sendiri. Perasaan sebagai orang sakti dan memiliki kemampuan lebih dibandingkan orang lain yang membuatku mudah terpancing. Hingga preman pasar pun hormat kepadaku. Hal ini bermula ketika pada suatu sore kuhantam dua orang preman dengan sekali pukul.
Bukan hanya preman yang merasakan kerasnya kepalan tanganku. Saat mengikuti demo mahasiswa menentang kebijakan kenaikan BBM, pun aku sempat bentrok dengan tiga orang polisi. Di saat mahasiswa sudah mau mundur, tiga polisi merangsek maju. Mereka mengejar mahasiswa. Aku yang berada di garis terdepan menjadi sasaran empuk mereka dan terjadilah baku hantam antara aku dan tiga orang polisi.
Sekian banyak masalah muncul, setelah aku bergabung dengan pengajian dzikir itu semakin menyadarkan diriku bahwa ada yang salah dalam dzikir-dzikirnya. Kuakui aku memang orang awam. Keterlibatanku dengan pengajian pada awalnya karena aku ingin belajar agama. Aku ingin seperti Rudi yang sopan dan lembut tutur katanya. Tapi yang terjadi kemudian di luar perkiraanku sendiri.
Di tengah kegalauan jiwa itu Allah mempertemukanku dengan sekelompok aktifis dakwah. Dari mereka, aku banyak belajar agama. Persahabatan itu semakin menguatkan diriku untuk mempelajari Islam dari orang-orang yang kompeten. Dari orang-orang yang mengedepankan kemurnian akidah dan keshahihan ibadah. Hingga pada akhirnya aku mengikuti ruqyah di kantor Majalah Ghaib cabang Tangerang.
Alhamdulillah tingkat emosionalku menurun drastis. Lebih dari itu aku dapat menikmati persaudaraan dengan kakak-kakakku. Tawa dan canda kembali menggema di antara kami setelah sempat menghilang dua tahun. Allah mungkin memberiku jalan seperti ini untuk masa depan yang lebih cerah. Semoga Allah merubah masa depanku ke arah yang lebih baik.
(  Sumber : www.terapi-ruqyah.blogspot.com)

Mudah mudahan pengalaman saudara kita diatas bisa jadi pelajaran bagi kita , agar hati hati dalam mempelajari ilmu kanuragaan. Sebaiknya ikuti saja apa yang sudah diajarkan Rasulullah seperti shalat malam, shalat dhuha, puasa senen dan kamis, istigfar, tasbih, tahlil ,membaca asmaulhusna , dzikir mengingat Allah , membaca dan mentadabburi al Qur’an setiap hari . Insya Allah akan mendapat berbagai kemudahan dalam hidup dan dilindungi dari berbagai bahaya dan bencana.

0 comments:

Posting Komentar

.

@ elhaniev-cyberultimate.blogspot.com. Diberdayakan oleh Blogger.