Ingin putra/putri
Anda berprstasi di sekolah ? Ya, tentu boleh
saja Anda memacu anak agar selau berprestasi. Tapi, jangan sampai prestasi itu
adalah obsesi Anda, yang dulunya tidak terpenuhi. Juga, jangan sampai anak
terpaksa melakukannya karena hukuman yang acap Anda ancamkan. Karena itu, Anda
wajib memahami kiatnya, yang sederhana.
Memacu anak
berprestasi wajib hukumnya. Tapi ingat, perlu kiat yang jelas, agar prestasi
itu sendiri bukan obsesi Anda, tapi menjadi kebutuhan anak. Caranya? Jangan
pernah ancam dia dengan hukuman, karena itu akan tak menyelesaikan masalah.
Sebaiknya, ajari dia dengan cinta. Atau, ikuti tips kami berikut ini
Cinta kasih.
Ini menjadi kunci awal ketika Anda menuntut anak. Harus ada kasih dan
penerimaan penuh. Ini penting, sehingga sebelum tuntutan diberikan, anak perlu
mengetahui dan merasakan cinta kasih Anda yang menerimanya secara total.
Maksudnya, anak selayaknyalah memiliki keyakinan bahwa ia tetap Anda kasihi,
meski ia belum tentu mampu meraih keinginan Anda. Tanpa keraguan anak dapat
berkata bahwa cinta kasih Anda terhadapnya tidak tergantung apakah ia mendapat
nilai 9 atau 5. Sebelum menerima tuntutan, anak perlu menyadari bahwa Anda
telah menerimanya apa adanya atas dasar satu alasan, cinta kasih.
Tuntutan yang
didahului kasih dan penerimaan akan dapat memotivasi anak berprestasi. Tuntutan
mendorongnya bekerja lebih keras dan ia akan dapat melakukannya dengan tenang
karena ia tahu bahwa ia dikasihi. Anak sadar bahwa keberhasilannya mencapai
tuntutan itu akan menyenangkan hati orang tua, bukan untuk mendapatkan kasih
orang tua.
Arah yang jelas.
Arahan Anda harus jelas dan spesifik. Tidak jarang Anda melakukan kesalahan
umum. Misalnya, menuntut anak menjadi lebih baik, lebih rajin, lebih pintar,
berprestasi lebih tinggi, dan lain sebagainya. Tuntutan dengan target yang
terlalu luas justrtu membuat anak hilang arah dalam mengejar sasarannya. Ia
perlu mengerti apa yang Anda tuntut. Sehingga ia tahu yang harus dilakukannya.
Anak, sebagaimana
dikutip eunika.com akan lebih dapat memahami tuntutan orang tua apabila
tuntutan itu dijabarkan sespesifik. Daripada berkata, lebih rajin dan lebih
pintar, mungkin lebih baik Anda memintanya menambah jam belajar atau
menyelesaikan tugas sekolah, sebelum bermain. Ketimbang menuntutnya berprestasi
lebih tinggi, Anda bisa menyebut pelajaran tertentu yang mendapat nilai rendah
dan memintanya menghabiskan waktu belajar lebih banyak untuk bidang tersebut.
Anda bisa menargetkan supaya pada ulangan berikutnya ia mencoba meraih nilai 7.
Tentunya, Anda hindari nada paksa.
Realistis.
Anda harus realistis dengan kemampuan anak. Untuk memacu prestasi anak,
tuntutan yang diberikan seyogyanya sedikit diatas kemampuan anak. Tuntutan yang
dibawah atau pas dengan kemampuan anak tidak akan memacunya karena ia tidak
perlu berusaha keras memajukan diri. Sebaliknya, tuntutan yang jauh melampaui
kemampuan anak akan mengecilkan semangat. Anak mesti melihat bahwa tuntutan
yang diberikan kepadanya masih dalam batas kemampuan. Jika tidak ia justru ngambek.
Jadi yang penting ialah memahami kemampuan dan minatnya. Tuntutanyang efektif
adalah tuntutan yang realistis; tuntutan yang tidak realistis justru akan
menciptakan frustasi pada diri anak.
Jangan ambisius.
Anda tak perlu ambisius. Sikap itu justru akan melelahkan Anda dan membebani
anak. Ada dua kesalahan yang umum dilakukan oleh orang tua, termasuk Anda.
Pertama menuntut anak menjadi seperti dirinya, dan kedua, menuntut anak menjadi
pelengkap kekurangannya. Kesalahan pertama acap diperbuat oleh orang tua yang
memiliki kemampuan tertentu. Misalnya saja Anda pintar bermain gitar, maka
cenderung menuntut anak bisa bermain gitar. Masalahnya adalah, tidak selalu
anak mewarisi bakat orang tua dan tidak semua anak mempunyai minat sama dengan
orang tuanya. Kalaupun anak menyukai gitar, itupun tidak berarti bahwa ia akan
dapat bermain sebaik Anda.
Kesalahan kedua
acap terjadi pada orang tua yang merasa diri kurang atau ada cacatnya. Anak
akhirnya menjadi penyambung kekurangan agar keinginannya yang belum tercapai
bisa diwujudkan oleh anak. Misalnya jika orang tua berangan-angan dan gagal
menjadi dokter, ia pun akan memaksa anak menjadi dokter. Masalahnya adalah
belum tentu anak berminat. Maka, hindari pemaksaan, ya? (CN02)
Empat tips di atas tidak akan berarti apa-apa, jika Anda masih merasa
berhak menentukan kapan si anak sukses dan gagal. Artinya, kedua hal itu kadang
bersifat alamiah. Dan akan jadi pelajaran yang baik jika mereka pun merasakan
gagal itu, untuk tahu nikmatnya sukses. Karena itu:
Beri
ruang kegagalan. Tak ada manusia yang sempurna.
Acap kali, kegagalan selalu menjadi teman setia. Anda harus paham persoalan
ini. Jadi sudah selayaknya jika Anda memberi ruangan untuk gagal. Memang, pada
dasarnya orang sulit menoleransi kegagalan, karena kegagalan dengan mudah dapat
membangkitkan perasaan-perasaan masa lalu yang pahit. Kegagalan cenderung
mengingatkan Anda akan kekurangan-kekurangan yang telah Anda coba perbaiki
dengan susah payah. Kegagalan anak sering kali mempengaruhi penghargaan diri
dan konsep diri Anda. Kegagalan anak seakan mencoreng konsep dan penghargaan
diri yang sebelumnya Anda miliki. Itulah sebabnya tidak mudah bagi Anda
menerima kegagalan anak. Anda boleh kecewa. Tapi beri dia kesempatan. Anda
mesti berlapang dada.
Anak mesti diberi
kemungkinan untuk gagal dalam upayanya memenuhi tuntutan Anda. Kerelaaan Anda
menerima kegagalan anak akan membuatnya rileks. Sikap rileks ini justru akan
membuatnya lebih kreatif. Anak akan dapat mengupayakan prestasinya secara lebih
tenang karena tidak dikejar-kejar oleh rasa takut gagal.
Bebaskan imajinasi.
Imajinasi adalah dunia tanpa batas. Karena itu, membatasi imajinasi anak,
apalagi merampasnya, akan mengganggu kreativitas anak. Kenyataan bahwa
imajinasi anak berbeda dengan orang dewasa, menunjukkan betapa penting Anda
membiarkan anak membangun imajinasi.
Mencetak anak
cerdas dan kreatif, memang ibarat melakukan perbuatan yang bertentangan.
Aktivitas "mencetak" mengandung makna peran aktif Anda dalam
mengarahkan dan membentuk segala perilaku anak. Padahal, menjadikan anak
kreatif menuntut kesempatan untuk memilih dan berekspresi secara bebas.
Pendeknya, disiplin dan kebebasan harus dikelola secara elastis. Anda memang
harus lentur mengarahkan anak Anda.
Terpenting usaha.
Anda perlu menyadari bahwa hasil akhir bukan tujuan terpenting. Anak pun perlu
menyadari bahwa kegagalan adalah bagian dan konsekuensi hidup. Jangan lupa,
menerima dan mengoreksi diri merupakan sat langkah mencapai asa. Tak perlu
menyangkali atau menyesali diri tanpa kesudahan. Anak harus mengetahui bahwa
yang terpenting adalah usahanya, bukan hasil akhir. Selama ia telah berusaha
sebaik mungkin, tanpa ada unsur paksaan, itu merupakan sesuatu positif. Yang
jelas, Anda harus mendukungnya, jangan mencemooh.
Prestasi bukan
ukuran. Rangking tinggi di sekolah bukan
menjadi ukuran keberhasilan seorang anak. Suyanto PhD dalam buku "Mencetak
Anak Cerdas" menyebutkan bahwa pendidikan sekolah masih mengabaikan otak
kanan. Hanya otak kiri yang dipacu. Sehingga, kreatifitas siswa sekolah menjadi
sangat rendah. karena itu, Anda tak perlu memaksakan anak Anda untuk
berprestasi di sekolah kalau memang dia kurang mampu. Karena pandai di sekolah
belum tentu sukses dalam hidup.
Kegiatan yang
bersifat mengasuh mental anak, memang bisa lebih dikedepankan. Penelitian
mutakhir menunjukkan bahwa di samping IQ, keberhasilan seseorang juga
ditentukan oleh kecerdasan mental atau emosional (EQ). Hasil penelitian Dr
Lewis M Terman menunjukkan, kecerdasan bukanlah satu-satunya ukuran untuk
mencapai suatu prestasi yang luar biasa. Dari 200 sampel yang memiliki
rata-rata skor IQ antara 150-157, ternyata 50 persen berhasil karena mempunyai
motivasi yang lebih kuat.
Daniel Goleman
bahkan secara radikal membuktikan bahwa 80 persen keberhasilan hidup seseorang
ditentukan oleh EQ. Dan menurut Dr Seto Mulyadi, kecerdasan emosional dapat
dilatihkan pada anak-anak sejak dini. Misalnya, menciptakan suasana kedamaian
penuh kasih sayang dalam keluarga, memberikan contoh nyata berupa sikap saling
menghargai, ketekunan menghadapi kesulitan, serta sikap disiplin.
0 comments:
Posting Komentar