Mona : Dukun Generasi Kelima Pengikut Nyi Roro Kidul

“MONA (bukan nama sebenarnya), kamu berbakat jadi dukun hebat,” kata kakek suatu sore. Kata bernada pujian itu terlontar dari bibir kakek setelah sekian bulan. la memantau perkembangan murid-muridnya. Murid yang istimewa, karena semuanya memiliki pertalian darah. Generasi saya adalah generasi kelima dari keluarga yang secara turun ternurun terkenal sebagai dukun kesohor di Jawa Tengah. Pendadaran yang langsung dibawah kendali kakek memang dimaksudkan untuk mencari penerus dari ilmu leluhur kami. Para dukun yang telah sekian puluh tahun malang melintang di dunia perdukunan. Dari kawah candradimuka ini akan terlihat siapa yang layak menjadi pewaris ilmu leluhur keluarga kami.
Mulanya, saya tidak tertarik menjadi seorang dukun. Saya hanya mengikuti sebuah tradisi dalam keluarga yang harus menjalani latihan tahap pertama ini. Dan saya dinyatakan sebagai yang terbaik. Melebihi bakat yang dimiliki sepupu saya yang nampak ngotot ingin menjadi dukun.
Ukuran keberhasilannya sebenarnya mudah, hanya dengan melihat pengaruh dari tahapan puasa yang kami jalani. Seberapa lama seseorang dapat merasakan kehadiran jin tanpa ada rasa takut. Semakin cepat, katanya, bakat yang dimilikinya semakin besar.Umur saya masih belasan tahun ketika pertama kati disuruh berpuasa tiga hari. Rabu Pon, Kamis Wage dan Jum’at Kliwon, itulah hari-hari yang biasanya dipilih. Namun, puasa yang saya jalani berbeda dengan puasa dalam ajaran Islam. Waktu itu, saya disuruh mengawali puasa pada hari Selasa siang. Tepatnya jam tiga sore. Bukan Shubuh seperti lazimnya puasa dalam Islam. Satu jam sebelumnya saya harus mengikuti ritual mandi kembang.
Saya berpuasa tanpa makan dan minum. Adzan Maghrib berlalu tanpa seteguk air membasahi kerongkongan. Saya hanya diperbolehkan makan nasi satu kepalan tangan dan air putih bila sudah sangat lapar. Itu pun hanya dibolehkan makan sekali. Bila tidak mampu, otomatis saya dinyatakan telah gagal dalam pendadaran ini.
Jam dua belas malam, saya disuruh keluar rumah lalu menjejakkan kaki ke bumi tiga kali, sambil merapal mantra berbahasa Iblis yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bermakna, “Atas kekuatan udara, langit, bumi dan laut. Aku mengundang semua kekuatan itu atas penciptaan Tuhan. Atas nama besar Muhammad dengan dukungan Iblis ajmaun.”
Saya yang belum mengerti apa-apa, hanya menuruti kata-kata kakek. Selanjutnya, saya disuruh mandi dari tujuh mata air yang berbeda. Mata air yang harus jatuh dari gunung. Sebuah persyaratan yang sulit terwujud bila tidak dipersiapkan jauh-jauh hari. Namun, semua persyaratan itu telah dipersiapkan kakek. Saya tinggal menjalani ritual semata.
Hari ketiga, saya disuruh kakek masuk ke dalam kamar. Duduk bersila dan mematikan lampu. Hanya lilin yang dinyalakan. Dalam temaram lampu lilin, saya diperintahkan menanggalkan semua busana. Selanjutnya tinggal menunggu apa yang akan terjadi.
Kata kakek, nanti ada yang datang dan biasanya menepuk punggung sebelah kanan. Awalnya saya merinding memikirkan apa yang akan terjadi. Namun saya berusaha menepisnya dan menenangkan diri. Tepat jam dua belas malam lebih sepuluh menit saya merasakan tepukan di pundak sebelah kanan.
Saya langsung kedinginan. Dengan sekuat tenaga saya berusaha untuk tidak berteriak. Saya diam. Menunggu apa yang akan terjadi. Ternyata hembusan angin mematikan lilin. Padahal saya berada dalam kamar yang tertutup yang seharusnya tidak mengizinkan angin masuk. Padamnya lilin merupakan pertanda buruk bagi saya.
Kakek menyatakan tirakat saya gagal dan harus diulangi lagi. Saya kembali menjalani ritual sejak awal di bulan berikutnya. Kali ini, kakek berpesan agar saya tidak membaca basmalah. Karena jin akan pergi lagi bila saya membaca basmalah. Puasa yang kedua ini, kakek benar-benar mengawasi saya, hingga ia pun puas. Saya dinyatakan lulus. Berikutnya saya disuruh melanjutkan puasa tujuh hari. Namun, terlebih dahulu saya harus mencari hari yang tepat. Rabu Pon, Kamis Wage dan Jum’at Kliwon, seperti biasa menjadi pilihan.  Dalam tahapan ini saya dinyatakan lulus, hingga langsung naik ke tangga berikutnya. Saya puasa dua belas hari, dua puluh satu hari dan empat puluh hari.
Setelah puasa empat puluh hari, saya disuruh kakek mandi di laut dengan membawa sisir, potongan rambut, potongan kuku dan celana dalam. Semua benda itu kemudian dibungkus dengan besek (sejenis tumbu terbuat dari anyaman bambu) dan ditinggal di laut. Setelah mandi saya langsung pulang. Karena kelelahan, sesampai di rumah saya tertidur. Saat itulah saya mendengar seseorang membangunkan saya. “Nduk, bangun,” katanya. Saya terjaga. Saya tidak tahu apakah saya bermimpi atau tidak. Di depan saya telah berdiri seorang wanita berkebaya. “Lungguh neng kene, Nduk (duduk di sini, nak)!” katanya. Saya turuti perintahnya. Tak lama kemudian, datanglah seorang kakek-kakek. Badannya kurus dengan balutan kain putih di kepalanya. la membawa sebilah keris. “Ini milikmu. Tolong dijaga!” katanya sambil menyodorkan sebilah keris kepada saya. Belum sempat saya menjawab, keris itu langsung masuk ke dada saya. Saya benar-benar merasakan rasa sakit ketika keris itu menembus dada.
Keesokan harinya, saya sakit demam. Badan dingin menggigil. Setelah diserang panas dingin dua minggu lamanya, kakek datang. “Bagaimana, sudah masuk apa belum?” tanyanya. Belum saya jawab, kakek sudah mengejar dengan pertanyaan kedua. “Sudah didatangi apa belum?” katanya.
Saya heran, siapa orang yang dimaksudkan kakek. Pertanyaan kakek itu masih belum dapat saya jawab. Hanya diam jawaban saya. Saya tidak menghubungkan pertanyaan kakek dengan peristiwa dua minggu yang lalu. Pembicaraan pun beralih ke sakit saya. “Tidak apa-apa, nanti juga sembuh” kata kakek, setelah memegang kening saya. la kemudian mengunyah jahe lalu menaruhnya di ubun-ubun saya. Aneh, perlahan rasa sakit itu hilang, hanya dengan kompres jahe yang dikunyah kakek.
Sejak itu, saya merasakan lidah saya menjadi tajam. Umpatan dan ancaman seringkali menjadi nyata. Orang pertama yang menjadi korban masih teman sekelas. Namanya Veti. la selalu menghina saya di depan umum. “Ngapain ke sini, kamu kan bau. Bau amis,” kata Veti sinis.
Saya tidak terima dipermalukan sedemikian rupa. Dengan reflek, saya menjejakkan kaki kiri ke tanah tiga kali dan merapal mantra, “Demi angin, …… saya berpegang padamu atas keputusan Tuhan.” Selanjutnya saya menyebut nama Veti seraya mengancam. “Celaka kamu, kalau kamu memang tidak mau minta maaf sama saya.” ketika pulang dari sekolah, Veti tertabrak mobil. la mengalami luka parah. Kakinya patah.
Waktu itu, saya belum berpikir macam-macam bahwa kecelakaan itu karena ucapan saya. Tapi peristiwa demi peristiwa yang terjadi kemudian membawa saya pada kesimpulan bahwa saya tidak boleh berbicara sembarangan.

RAMALAN PERTAMA YANG MENGGUNCANG KELUARGA
Saat SMA itu, saya sudah mulai meramal. Yang pertama menjadi korban masih sepupu saya. Retno, begitu ia biasa dipanggil. Retno yang telah berpacaran 8 tahun tidak lama lagi menikah. Hari H sudah ditentukan. Undangan juga sudah tersebar. Hari bersejarah dalam hidupnya, tinggal menghitung hari.
Sehari sebelum hari H, saya bermain ke rumah Retno. Dari raut wajahnya saya meramalkan bahwa pernikahannya akan gagal. “Ngapain kamu repot-repot seperti ini. Dia bukan jodohmu,” kata saya tanpa merasa bersalah. Terang saja Retno blingsatan. la marah. “Kenapa kamu ngomong begitu, tidak sopan,” katanya.
“Lihat saja. Siapa jodoh kamu. Jodoh kamu itu orangnya dari timur. Kulitnya putih dan rambutnya keriting, ketemunya kamu nanti di kereta,” jawab saya dengan ringan. Retno terpana. la masih tidak percaya dengan ramalan saya. la bertanya dengan sedikit ragu, “Mengapa kamu bisa tahu kalau saya tidak berjodoh sama dia?”
“Karena di muka kamu terlihat bukan dia suami kamu. Aura kamu tidak nyambung. Kalau kamu tetap nekat sama dia, kamu akan susah. Kamu akan sengsara,” kata saya panjang lebar.
Tak lama setelah kepergian saya, terdengar berita buruk. Retno gagal melangsungkan pernikahan esok harinya. Keluarga besar terpengaruh dengan ramalan saya dan memutuskan untuk membatalkan pernikahan. la syok. Keluarga pun tertimpa aib. Ujung-ujungnya saya disalahkan karena ramalan itu. Enam bulan lamanya ia baru dapat melupakan kenangan pahit itu. Ketika Retno berangkat ke Yogya, ia menceritakan mimpinya. la tidak lagi mempermasalahkan ramalan saya yang menggagalkan pernikahannya dulu. “Mon, saya mimpi dikelilingi api,” katanya. “Berangkat sekarang. Besok kamu bertemu dengan jodohmu,” jawab saya meyakinkan. Retno pun berangkat ke Yogya. Dan begitu pulang, dia langsung memperkenalkan seorang pria yang kelak menjadi suaminya.
Selain itu saya mulai menerima  pasien. Pasien pertama saya adalah seorang penderita hilang ingatan asal Semarang, Jawa Tengah. Namanya Elsa. Saya pegang ubun-ubunnya, lalu saya tiup sebentar. la memang gila, gumam saya. Setelah saya putuskan untuk mengobatinya, saya berpuasa tiga hari. Kemudian saya membawanya ke laut. Di sana, saya duduk di pantai layaknya orang yang bersemedi. ‘Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakan langit, bumi dan segala isinya, saya memanggil penguasa  laut kidul. Saya minta pertolongannya dan meminta petunjuk atas kebenaran yang tidak saya ketahui.” Mantra pemanggil Nyi Roro Kidul pun saya rapal. Air laut yang ada di depan saya bereaksi. Air laut itu langsung mendekat. la seakan bernyawa. Keluarga Elsa ketakutan melihat apa yang terjadi. “Panggil saja lautnya dengan ikhlas,” seru saya kepada orangtua Elsa. Mereka pun menuruti permintaan saya. Mereka memanggil air laut. Air laut kembali mendekat. la seakan menelan kami. Ia seperti menyambut kedatangan kami. Bila sudah demikian, saya tahu bahwa pasukan Nyi Roro Kidul sudah datang.
Sebelum memandikan Elsa, terlebih dahulu saya memotong kuku, rambut dan pakaian dalamnya. Saya minta orangtuanya menyebutkan nama kecilnya serta nama ibunya. Setelah itu potongan kuku, rambut dan pakaian dalam itu saya cuci sampai bersih lalu saya buang ke laut. Selang beberapa minggu kemudian, orangtua Elsa menghubungi saya dan mengatakan bahwa Elsa telah sembuh. Hanya saja setiap menjelang bulan Syura, dia harus ke laut.
Semakin hari, pasien saya semakin banyak. Jumlahnya mencapai ratusan atau bahkan ribuan. Karena kakek dan paman, juga sering melimpahkan pasiennya kepada saya. Mereka menganut aliran kejawen yang berkiblat ke Nyi Roro Kidul. Karena itu bila mendapat masalah yang pelik, mereka selalu datang ke laut dengan membawa sesembahan berupa bedak, sisir, kemben hijau, selendang hijau, kebaya, jarik parang, bunga mawar dan bunga melati. Sesajen itu biasanya dibawa pada hari Selasa kliwon atau Jum’at Kliwon.
Beragam alasan pasien yang datang kepada saya. Ada yang minta penglaris, dimenangkan dalam perjudian, maupun pelet. Seperti yang dialami seorang teman karib saya, Desi namanya. la diinjak-injak pacarnya sendiri. Sebagai sesama wanita saya tidak rela teman saya diperlakukan demikian. Desi pun minta tolong saya agar pacarnya tidak memutuskannya. “Mon, tolong saya!” pintanya memelas.
“Coba cari daun teratai tiga lembar. Cari yang arahnya saling bertemu dengan ruas yang sama,” kata saya menjawab permintaan Desi. Desi benar-benar mencari daun teratai itu. “Kamu harus puasa sehari semalam. Tanpa makan, minum dan tidur. Jam dua belas malam, ambil air wudhu dan duduklah menghadap kiblat dengan kaki bersila. Lalu tumpuk daun teratai itu menjadi satu. Sebut namanya disertai dengan membaca mantra lalu satukan daun-daun itu. Bayangkan pacarmu lalu usapkan ke kening. Setelah itu jadikan daun teratai itu sebagai bantalan tidur. Keesokan harinya pacarmu akan datang dengan muka yang aneh. Pandangannya kosong dengan raut muka merah jambu.” Saya jelaskan kepada Desi cara mendapatkan pacarnya melalui ilmu pelet. Desi akhirnya bersatu kembali dengan pacarnya. Hanya saja cintanya kini sudah melebihi batas. Dia tidak bisa berpisah dengan Desi. Kemana-mana selalu ingin bergandengan tangan. Cintanya sudah tidak wajar. Karena itu dua tahun kemudian Desi menemui saya lagi. la meminta agar peletnya dilepas. “Kasihan, ia bukan lagi yang saya kenal dulu,” ujar Desi. “Bakar saja fotonya dan kemenyan bersamaan. Niatkan bahwa kamu ingin melupakannya.” Itulah solusi yang saya berikan kepada Desi. Dengan itu, mereka tidak lagi mesra seperti yang dulu. Mereka pun akhirnya berpisah dan tidak melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan.

LARUNG SESAJEN Dl PANTAI SELATAN.
Tahun 2003, saya ikut kakek melakukan ritual ke laut selatan di malam hari. Bertepatan dengan hari Selasa Kliwon. Dari rumah kami berjalan kaki ke laut. Saya mengenakan kebaya sambil membawa tumpeng lengkap dengan nasi kuning. Sementara kakek membawa seperangkat sesajen berupa macam-macam pakaian, bedak, kapur sirih, tembakau, mas-masan dan kain hijau. Kami menuju laut. Sebelum masuk pintu gerbang, saya duduk dalam posisi menyembah dengan dipimpin kakek. Kemudian kami berjalan beberapa langkah, lalu duduk menyembah kembali. Setelah melewati laut, saya mencium bau yang sangat harum. “Hmm…. Bau harum melati,” gumam saya sambil menghirupnya dalam-dalam.
Semua barang bawaan dilarung ke laut. Selang beberapa menit kemudian, ombak datang menggulung sesajen. Kakek ceria. Wajahnya berbinar-binar. la merasa sesajennya diterima Nyi Roro Kidul. Lalu kami pun pulang dengan mengambil jalan berbeda. Tapi anehnya, bau harum itu ikut pulang bersama kami. Bau harum melati itu terus membuntuti sampai dalam rumah. Ketika saya tanya, kakek hanya men-jawab singkat. “Nyi Roro ikut.”
Sejak itu, saya mulai sering bermimpi yang aneh-aneh. Saya diajak jalan-jalan ke laut selatan. Melewati pintu gerbang dan batu pualam yang tinggi. Dalam mimpi itu, saya disambut prajurit berpakaian ala kraton. la bersenjatakan tombak. Prajurit itu mempersilakan saya masuk dan menyuruh saya tanda tangan. Tapi saya tidak mau, meski saya lihat banyak juga yang membubuhkan tanda tangan. “Saya hanya ingin lihat-lihat,” elak saya.
“Ya sudah kamu masuk, memang kamu orang sini,” jawabnya mempersilakan saya masuk. Saya melihat istana yang indah. Dengan lalu lalang orang yang tiada henti. Di sebuah ruangan terlihat emas permata yang melimpah. Puluhan orang datang mengambil permata-permata itu silih berganti. Di sudut lain, saya melihat laki-laki yang dikelilingi perempuan yang cantik-cantik. Orang itu lagi ngapain? tanya saya, tapi tidak adayang menjawab. Saya terus melangkah. Di sebuah tempat saya melihat orang-orang yang mengambil buah yang berisi permata. “Mereka lagi ngapain?” tanya saya kepada penjaga. “Mereka itu minta. Kamu nggak ikut minta?” tanya balik seorang penjaga. Saya menggelengkan kepala. Saya tidak tertarik untuk membawanya, justru saya ingin segera pulang.
Ketika pulang, saya merasa seperti terdampar di sebuah kilang minyak. Saya pun terbangun keheranan. Yang lebih mengejutkan, tempat tidur saya penuh dengan pasir. Mulanya, saya berpikir mungkin tadi belum saya bersihkan. Tapi keesokan malamnya, saya kembali bermimpi. Saya dijemput sebuah kereta kuda. “Ayo nduk pulang. Wong rumahmu di sana,” ajak seorang perempuan berkebaya. Dalam mimpi itu saya kembali ikut ke laut pantai selatan. Tentu dengan pengalaman yang berbeda dan satu hasil. Kamar saya bertaburan pasir kembali.

KUNJUNGAN KE ‘ISTANA NYI RORO KIDUL’
Akhir Desember 2003, saya membaca Majalah Ghoib edisi 9. Dalam sebuah rubriknya dikisahkan seorang anak yang bertingkah aneh karena bisa melihat jin. Saya merasakan kisah anak itu seperti perjalanan hidup saya. Bahkan lebih mengerikan. Dari sana, saya mulai berpikir bahwa ada yang salah dalam diri saya. Ada masalah yang harus segera diselesaikan.
Ketika saya bertemu dengan kakek, saya pertanya-kan apa yang selama ini men-jadi beban pikiran saya. “Kek, benarkah dalam diri saya ada jinnya?” tanya saya sambil menyodorkan Majalah Ghoib. Kakek terpana. la tidak menduga mendapat pertanyaan itu. “Tidak, kamu itu turunan,” jawab kakek dengan suara bergetar. Kakek mem-baca sepintas Majalah Ghoib lalu merobek-robeknya. Kakek bercerita, saya adalah keturunan kelima yang diharapkan dapat mewarisi semua ilmu leluhur.
Ruang diskusi dalam hati saya belum tertutup, meski Majalah Ghoib telah dirobek-robek kakek. Saya kembali menelusuri perjalanan masa lalu. Perubahan sikap dan perilaku yang telah saya alami. Saya terkesima. Saya telah banyak berubah. Sejak tahun 2003, saya sudah tidak lagi menjalankan puasa Ramadhan. Jin yang merasuk ke dalam diri saya tidak mengizinkannya. Tenggorokan saya tercekik, bila saya niatkan puasa Ramadhan atau puasa sunah lainnya. Satu hal yang sangat berbeda bila saya puasa mutih atau ngrowot. Semuanya berjalan dengan lancar. Saya juga tidak lagi bisa shalat. jin-jin itu yang menghalangi saya.
Selain itu, ibu dan kerabat dekat saya mengatakan saya telah banyak berubah. Katanya saya jahat sekali. Saya menjadi licik dan omongan saya kotor. Saya bersedih. Linangan air matapun tidak lagi tertahankan. Saya menangis dalam kesendirian. Akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti ruqyah. Awal 2004, saya berniat mengikuti ruqyah, namun tidak pernah kesampaian. Ada saja hambatan. Bahkan bisikan dalam diri saya melarang dengan keras. Baru di akhir tahun 2004, tepat setahun setelah berkenalan dengan Majalah Ghoib saya mengikuti ruqyah massal. Waktu itu di sebuah kota di Jawa Tengah diadakan seminar dan ruqyah masal. Saya datang, karena saya sudah bertekad untuk keluar dari jalur perdukunan. Meski untuk itu saya harus melawan orangtua dan kakek yang mengharapkan saya mewarisi ilmu keluarga.
Meski untuk itu saya harus kehilangan harta yang melimpah. Dan saya harus memulai lagi dari nol. Bayangkan saya biasa mendapatkan uang empat ratusan ribu bahkan lebih untuk sekali terapi. Sebuah penghasilan yang sangat menggiurkan memang. Saat ruqyah masal itu, di dada saya ditaruh sebuah mushaf al-Qur’an. Anehnya, tubuh saya bergejolak. Aliran darah seakan terhenti. Tidak ada yang mengalir ke seluruh tubuh, hingga saya merasa sekujur tubuh saya kesemutan.
Tanpa sadar, saya berontak. Saya memukul ustadz yang menerapi. Bahkan al-Qur’an yang suci itu saya ludahi. Saya semakin kaget. Karena saya bisa melihat apa yang saya lakukan. Tapi saya tidak kuasa menahannya. Saya berteriak dan tertawa terbahak-bahak.
Setelah ruqyah itu saya demam selama seminggu. Satu hal yang tidak pernah terjadi sejak dikompres jahe oleh kakek, dulu. Saya berubah menjadi seorang penakut. Saya merasa ada serombongan orang yang memanggil-manggil. Mereka menyuruh saya kembali. Kemana-mana saya selalu dicekam ketakutan. Meski demikian, saya beruntung. Karena sejak ruqyah pertama, saya mulai bisa menjalankan shalat. Meski awalnya berat, seperti ada yang membebani di punggung. Tapi setelah terus dilawan, akhirnya beban itu hilang dengan sendirinya. Hanya saja, setelah ruqyah pertama kemampuan saya semakin tajam. Pasien yang meminta jasapun semakin banyak. Pasien-pasien lama banyak yang kembali datang. Sebuah pertentangan batin yang berat memang. Di satu sisi, kehadiran mereka mendatangkan keuntungan materi dan kehormatan. Namun pada sisi lain, saya telah menyatakan mundur dari dunia perdukunan. Sebuah masa transisi yang sangat menyesakkan dada.
Namun keputusan sudah diambil. Saya tidak mau surut ke belakang. Apapun resikonya. Akhirnya dengan bahasa yang halus, saya menolak permintaan mereka. Saya mulai menyarankan mereka untuk menempuh cara yang tidak menyimpang dari agama. “Berdoalah kepada Allah dan lakukan shalat hajat,” solusi seperti inilah yang pada akhirnya saya berikan kepada mereka.
Beberapa minggu setelah terapi pertama, saya ikut terapi ruqyah secara berkelanjutan. Saat itulah saya merasakan tubuh saya memanjang. Saya hanya merasakan seperti melihat ular. Tanpa sadar, saya mendatangi ustadz. “Siapa kamu. Mengapa kamu membunuh anak buah saya? Percuma kamu membaca bacaan-bacaan itu karena tidak akan berpengaruh kepada saya. Saya tidak mempan oleh bacaan-bacaan itu,” begitulah celotehan saya seperti dikisahkan seorang teman.
“Saya membunuh anak buahmu karena mereka masuk ke tubuh Nona dan mengganggunya,” jawab ustadz. “lya, karena anak ini yang meminta. Dia meminta kepada saya dan saya hanya mengirimkan yang dia minta,” jawab balik saya. Jin yang merasuk ke dalam tubuh saya itu membandel. Dia masih belum mau keluar.
“Jangan salahkan saya karena perempuan ini yang datang ke saya,” ujar jin melalui bibir saya. “Perempuan ini sudah bertobat,” ujar ustadz. “Tapi perempuan ini sudah memberikan perjanjian kalau dia akan memberikan semuanya kepada saya dan mengembalikan semuanya kepada saya,” jin yang merasuki tubuh saya tidak mau mengalah. Dia terus mengoceh. Ketika ditawarkan untuk masuk Islam, jin itu tidak tahu. “Saya tidak tahu sama sekali apa itu Islam. Siapa itu Muhammad. Itu zaman kapan? Karena saya tidak hidup pada zaman itu. saya tidak mau bersyahadat, karena saya tidak mengenal Muhammad dan Islam,” jin itu tetap membandel.
“Keluar dari sini,” bentak ustadz. “Ya, saya akan keluar karena saya masuk dengan kemauan sendiri, maka saya bisa keluar dengan kemauan sendiri.” Setelah mengucapkan kalimat itu, jin itu keluar saya pun tersadar. Jin yang merasuk ke dalam tubuh saya memang belum keluar semua. Tapi saya tidak berputus asa. Sudah belasan tahun mereka bertahan dalam tubuh saya, tentu mereka juga tidak mau keluar dengan mudah. Satu hal yang ingin saya pegang teguh, bahwa saya akan terus menempuh jalur ruqyah untuk membersihkan diri. Semoga Allah mengam-puni dosa-dosa saya. yang telah banyak menyesatkan orang melalui ilmu perdukunan yang saya kuasai.

0 comments:

Posting Komentar

.

@ elhaniev-cyberultimate.blogspot.com. Diberdayakan oleh Blogger.