Dengan ontelnya yang sudah usang, lelaki paruh baya itu berusaha menjajakan dagangannya, dari satu warung ke warung lainnya yang berjarak 30-an kilometer. Kelebatan kendaraan bermotor roda dua yang disaksikannya berseliweran tiap hari di hadapannya, sama sekali tak memikat di hatinya. Laju sepeda motor yang tentu lebih cepat dibanding sepeda tuanya, sama sekali tidak menggiurkannya. Dia lebih asyik menikmati ontelnya yang sudah berjasa menghidupi anak dan istrinya selama belasan tahun dengan berjualan kerupuk itu.
Langkah sepedanya yang pelan, ternyata mewujud pula dalam perilakunya yang kalem dan tenang. Itulah yang terjadi manakala waktu shalat tiba, Zhuhur atau Ashar. Entah kerupuknya masih menggunung setinggi 1,5 meter, maupun setengahnya, dia selalu singgah di masjid. Bahkan, lima atau 10 menit sebelum tiba waktu shalat, dia sudah duduk tafakur di rumah Allah itu, menanti azan dikumandangkan. Sesungging senyum, dia tebarkan manakala berjumpa dengan orang lain. Dari perilakunya, sama sekali tak terlihat gaya orang yang sedang dikejar setoran.
Setelah menunaikan shalat, biasanya seusai shalat Zhuhur, lalu bakdiah Zhuhur, dia mengambil posisi di sudut masjid. Kemudian pria yang rambutnya sebagian telah memutih itu pun merebahkan tubuhnya seenaknya. Tidur, berbantalkan handuk kecil yang biasa melingkari lehernya. Kalau ada kipas angin masjid yang dihidupkan, biasanya dia mengambil tempat di bawahnya. Mungkin agar terasa lebih sejuk dan membangkitkan pulasnya tidur.
Tapi, dia sendiri tak pernah kelihatan menghidupkan kipas angin tersebut. Dia menyadari benar etika seorang musafir, kendati jamaah atau mukimin di situ sudah menganggap dia sebagai bagian dari jamaah masjid, karena seringnya ikut shalat berjamaah, terutama Zhuhur dan Ashar.
Setelah shalat dan tubuh kembali fresh, dia kembali mengayuh sepedanya untuk mencari karunia Ilahi di muka bumi. Entah, berapa warung lagi yang harus dia datangi dan tawari kerupuknya. Jam berapa pula dia kembali pulang, menemui keluarga tercintanya.
Selain lelaki ini telah berjasa pada negeri, yang telah menciptakan lapangan pekerjaan, meski hanya untuk dirinya sendiri. Namun, pelajaran yang tak kurang nilainya adalah bagaimana dia membingkai dan meramu hidup ini dengan indahnya. Bagaimana dia merangkai aktivitas hariannya menjadi sebuah paduan harmoni yang manis dalam konteks ibadahnya pada Allah, baik secara vertikal maupun horizontal.
Lelaki sederhana ini mengajarkan banyak hal; tentang kesederhanaan, tawakal, sikap tidak tergopoh-gopoh (karena itu datang dari setan), tidur siang agar bisa qiyamullail (bangun malam), shalat di awal waktu dan berjamaah, serta tentang manajemen waktu. Banyak ayat Alquran yang menerangkan pentingnya hal-hal tersebut di atas. Salah satunya surah al-Ashr yang bercerita soal waktu.
Ketika banyak orang kacau-balau dan tidak tepat waktu dalam shalatnya, dengan dalih banyak pekerjaan atau waktu mepet, lelaki sederhana ini justru piawai sekali dalam menjadikan waktu-waktu shalat sebagai pemandu dari aktivitas hariannya.
(Source REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Makmun Nawawi )
0 comments:
Posting Komentar