Masih berkisar tentang "Polemik Bulan Rajab", banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh saudara2 kita yang menanyakan keabsahan doa menjelang bulan Rajab, pertantaannya adalah sbb :
Bagaimana kualitas hadits, “Bila memasuki bulan Rajab, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengucapkan, ‘Alloohumma Baarik Lana Fii Rojabin Wa Sya’baana, Wa Ballighna Ramadhaana.’” Di dalam riwayat lain, ‘Wa Baarik Lana Fii Ramadhaana.’?
Bagaimana kualitas hadits, “Bila memasuki bulan Rajab, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengucapkan, ‘Alloohumma Baarik Lana Fii Rojabin Wa Sya’baana, Wa Ballighna Ramadhaana.’” Di dalam riwayat lain, ‘Wa Baarik Lana Fii Ramadhaana.’?
Makan penjelasan / jawaban atas pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut.....
Teks hadits: “Bila memasuki bulan Rajab, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengucapkan, ‘Allaahumma Baarik Lana Fii Rajabin Wa Sya’baana, Wa Ballighna Ramadhaana (Ya Allah, berilah keberkahan pada kami di dalam bulan Rajab dan Sya’ban serta sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan).’”
Dikeluarkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad di dalam kitab Zawaa’id al-Musnad (2346), al-Bazzar di dalam Musnadnya –sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasyf al-Astaar-(616), Ibn as-Sunny di dalam ‘Amal al-Yawm Wa al-Lailah (658) ath-Thabarany di dalam(al-Mu’jam) al-Awsath (3939) dan kitab ad-Du’a’ (911), Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah(VI:269), al-Baihaqy di dalam Syu’ab (al-Iman) (3534), kitab Fadhaa’il al-Awqaat (14), al-Khathib al-Baghdady di dalam al-Muwadhdhih (II:473), Ibn ‘Asaakir di dalam Tarikh-nya (XL:57); dari jalur Za’idah bin Abu ar-Raqqad, dari Ziyad an-Numairy, dari Anas.
Teks hadits: “Bila memasuki bulan Rajab, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengucapkan, ‘Allaahumma Baarik Lana Fii Rajabin Wa Sya’baana, Wa Ballighna Ramadhaana (Ya Allah, berilah keberkahan pada kami di dalam bulan Rajab dan Sya’ban serta sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan).’”
Dikeluarkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad di dalam kitab Zawaa’id al-Musnad (2346), al-Bazzar di dalam Musnadnya –sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasyf al-Astaar-(616), Ibn as-Sunny di dalam ‘Amal al-Yawm Wa al-Lailah (658) ath-Thabarany di dalam(al-Mu’jam) al-Awsath (3939) dan kitab ad-Du’a’ (911), Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah(VI:269), al-Baihaqy di dalam Syu’ab (al-Iman) (3534), kitab Fadhaa’il al-Awqaat (14), al-Khathib al-Baghdady di dalam al-Muwadhdhih (II:473), Ibn ‘Asaakir di dalam Tarikh-nya (XL:57); dari jalur Za’idah bin Abu ar-Raqqad, dari Ziyad an-Numairy, dari Anas.
KUALITAS SANAD INI LEMAH:
Imam al-Bukhary dan an-Nasa’iy berkata, “Hadits yang diriwayatkannya (Za’idah) Munkar.”
Abu Daud berkata, “Aku tidak mengetahui khabarnya.”
Abu
Hatim berkata, “Ia meriwayatkan dari Ziyad an-Numairy, dari Anas
hadits-hadits Marfu’ tetapi Munkar. Kami tidak tahu apakah ia berasal
dari dirinya atau dari Ziyad.”
Adz-Dzahaby berkata, “Ia seorang periwayat yang lemah.”
Al-Hafizh Ibn Hajar berkata, “Hadits yang diriwayatkannya Munkar.” [Lihat juga:at-Taarikhal-Kabiir(III:433),al-Jarh(III:613),al-Majruuhiin (I:308), Miizaan
al-I’tidaal(II:65), at-Tahdzib (III:305), at-Taqriib (I:256)]
Sedangkan mengenai Ziyad bin ‘Abdullah an-Numairy:
al-I’tidaal(II:65), at-Tahdzib (III:305), at-Taqriib (I:256)]
Sedangkan mengenai Ziyad bin ‘Abdullah an-Numairy:
Ibn Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya dan dilemahkan oleh Abu Daud.”
Abu Hatim berkata, “Haditsnya ditulis namun tidak dijadikan hujjah.”
Ibn
Hibban menyinggungnya di dalam kitabnya ats-Tsiqaat, ia berkata,
“Sering salah.” Kemudian ia memuatnya di dalam kitabnya ‘al-Majruuhiin’
seraya berkata, “Hadits yang diriwayatkannya munkar.
Ia
meriwayatkan dari Anas sesuatu yang tidak serupa dengan hadits yang
diriwayatkan para periwayat Tsiqaat (terpercaya). Tidak boleh berhujjah
dengannya.”
Adz-Dzahaby berkata, “Ia seorang periwayat yang lemah.” [lihat: Taariikh Ibn Ma’in(II:179), al-Jarh (III:536), al-Kaamil (III:1044), Miizaan al-I’tidaal (II:65)
dan at-Tahdzib (III:378)]
Za’idah bin Abi ar-Raqqad sendirian meriwayatkan hadits ini dari Ziyad an-Numairy.
dan at-Tahdzib (III:378)]
Za’idah bin Abi ar-Raqqad sendirian meriwayatkan hadits ini dari Ziyad an-Numairy.
Ath-Thabarany
di dalam (al-Mu’jam) al-Awsath berkata, “Hadits ini tidak diriwayatkan
dari Rasulullah kecuali hanya melalui sanad ini saja. Za’idah bin Abi
ar-Raqqad sendirian meriwayatkannya.”
Al-Baihaqy berkata, “an-Numairy meriwayatkan sendirian hadits ini, lalu Za’idah bin Abi ar-Raqqad meriwayatkan darinya pula.”
Al-Bukhari berkata, “Za’idah bin Abi ar-Raqqad dari Ziyad an-Numairy, haditsnya munkar.”
Tidak
hanya satu ulama tetapi banyak ulama yang menyiratkan kelemahan sanad
ini, di antara mereka adalah: an-Nawawy di dalam kitab al-Adzkaar (547),
Ibnu Rajab di dalam Latha’if al-Ma’arif (hal.143), al-Haitsamy di dalam Majma’ az-Zawaa’id (II:165), adz-Dzahaby di dalam Miizaan al-I’tidaal (II:65), Ibnu Hajar di dalam Tabyiin al-‘Ujab(38).
Terkait
dengan takhrij hadits ini, perlu diingat bahwa tidak ada satu hadits
SHAHIH pun mengenai keutamaan bulan Rajab, puasa atau pun qiyamullail
(shalat tahajjud) yang dikhususkan pada malamnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Tabyiin al-‘Ujab Bi Maa Warada Fii Syahr Rajab (hal.23),
“Tidak ada satu hadits shahih pun yang layak dijadikan hujjah mengenai
keutamaan bulan Rajab, puasa pada hari tertentu darinya atau pun shalat
tahajjud pada malam yang dikhususkan padanya. Sebelum saya, Imam Abu
Isma’il al-Hirawy al-Hafizh telah terlebih dahulu menegaskan secara
pasti akan hal itu. Kami telah meriwayatkan darinya dengan sanad yang
shahih, demikian juga dari ulama selainnya.”
Al-Hafizh Ibn Rajab di dalam Lathaa’if al-Ma’aarif (hal.140)
berkata, “Mengenai shalat, tidak ada satu pun hadits yang shahih
tentang adanya shalat khusus di bulan Rajab. Hadits-hadits yang
diriwayatkan mengenai keutamaan shalat ‘Ragha’ib’ pada awal malam Jum’at
bulan Rajab hanyalah dusta dan batil, tidak shahih sama sekali. Shalat
ini adalah bid’ah menurut jumhur ulama. Di antara para ulama
muta’akhkhirin dari kalangan ‘al-Huffazh’ yang menyinggung hal itu
adalah Abu Isma’il al-Anshary, Abu Bakar as-Sam’any, Abu al-Fadhl bin
Nashir, Abu al-Faraj bin al-Jawzy dan ulama selain mereka.
Lantas
kenapa para ulama terdahulu (al-Mutaqaddimin) tidak menyinggungnya? Hal
ini karena shalat tersebut dibuat-buat pasca generasi mereka. Pertama
kali shalat itu dikenal adalah pasca tahun 400-an Hijriah. Karena
itulah, ia tidak dikenal pada masa ulama terdahulu dan tidak pernah
diperbincangkan oleh mereka. Ada pun mengenai puasa, juga tidak ada hadits yang shahih tentang pengkhususannya dilakukan di bulan Rajab
yang berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, demikian pula dari
para shahabatnya… Ada diriwayatkan bahwa pada bulan Rajab terjadi
kejadian-kejadian besar, namun tetap tidak ada satu pun hadits yang
shahih mengenainya. Di antaranya, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam dilahirkan pada awal malamnya (malam bulan Rajab), ia
diangkat jadi nabi pada tanggal 27 Rajab; dalam riwayat lain disebutkan,
tanggal 25 Rajab. Semua itu tidak ada yang shahih. Pun, ada
diriwayatkan dengan sanad yang tidak shahih dari al-Qasim bin Muhammad
bahwa perjalanan Isra’ Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terjadi pada
tanggal 27 Rajab namun hal ini ditolak oleh Ibrahim al-Harby dan ulama
selainnya.”
(SUMBER:
Situs Islam berbahasa Arab, dari fatwa Syaikh Dr Muhammad bin ‘Abdullah
al-Qannaash, staf pengajar pada universitas al-Qashim, Riyadh, Saudi
Arabia, 03/07/1426 H)
0 comments:
Posting Komentar