Adab buang hajat dalam Islam







PENDAHULUAN
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين, والصلاة والسلام على سيد الزاهدين و إمام العابدين أم بعد
Suatu ketika Salman Al-Farisi pernah ditanya oleh seorang musyrik: “Apakah benar Nabi kalian mengajarkan perkara-perkara agama ini hingga adab buang hajat? Salman menjawab dengan tegas: Benar! Beliau صلي الله عليه وسلم melarang kita istinja dengan tangan kanan, dan melarang kita untuk menghadap kiblat [saat buang hajat]”. Sebuah hadits yang agung menggambarkan betapa sempurnanya agama islam ini, tidak hanya menjelaskan perkara-perkara yang besar dan urgen, namun juga perkara yang sering disepelekan oleh kebanyakan orang yaitu adab buang hajat. Berikut ini adab-adab dalam buang hajat yang coba kami kupas, semoga bermanfaat..








1. TIDAK DISEMBARANG TEMPAT

Membung hajat disembarang tempat, tidak hanya mengotori dan mengganggu orang lain namun juga menyebabkan pelakunya mendapat la’nat, Allah berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58).
Rosulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
اِتَّقُوْا اْللَّعَانَيْنِ, قَالُوْا: وَمَا اْللَّعَانَانِ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ: الَّذِيْ يَتَخَلَّى فِيْ طَرِيْقِ اْلنَّاسِ أَوْ فِيْ ظِلِّهِمْ
"Takutlah kalian dari dua perkara yang menyebabkan pelakunya mendapat la’nat, para sahabat bertanya: Apa dua perkara itu wahai Rosulullah? Rosulullah صلي الله عليه وسلم menjawab: Yaitu orang yang buang hajat ditempat-tempat yang dilalui manusia dan tempat perteduhan mereka". (HR. Muslim 269, Abu Dawud 25, Ahmad 8636).
Berkata Syaroful Haq ‘Adzim Abadi: “Hadits ini menunjukkan haromnya buang hajat di jalan-jalan yang dilalui oleh manusia atau tempat perteduhan mereka, karena orang yang lewat akan merasa jijik dan terganggu dengan najisnya”. (Aunul Ma’bud 1/31).











2. LARANGAN KENCING PADA AIR YANG TENANG

Berdasarkan hadits:
لاَ يَبُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ فِيْ اْلمَاءِ اْلَّدَائِمِ الَّذِيْ لاَ يَجْرِى
“Janganlah kalian kencing pada air yang tenang lagi tidak mengalir.” (Bukhori 239 dan Muslim 282).
Imam Nawawi berkata: “Jika airnya banyak dan mengalir maka tidaklah diharamkan kencing didalamnya, akan tetapi menjauhinya lebih utama”.(Syarah Shohih Muslim 3/523).












3. TIDAK MEMBAWA SESUATU YANG BERTULISKAN NAMA ALLAH

Yang demikian sebagai bentuk pemuliaan dan penjagaan nama Allah dari penghinaan, karena itu tidaklah layak bagi seorang muslim ketika buang hajat membawa sesuatu yang bertuliskan lafadz Allah, kecuali karena dhorurat. Adapun mushaf Al-Qur’an tidak diragukan lagi larangannya untuk dibawa ketika buang hajat, dan inilah pendapat ahlu ‘ilmi. (Lihat Syarah Mumti’ 1/91 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin).
Perhatian:
Hadits yang menjelaskan bahwasanya Nabi apabila buang hajat beliau melepas cincinnya yang bertuliskan lafadz Allah, hadits ini adalah dho’if, riwayat Abu Dawud no.19, dan dia berkata: “Ini adalah hadits munkar”, Tirmidzi 1746, 47-Syamail, Ibnu Majah 303,Nasa’i 5210, dan dia berkata: “Hadits ini ‘Ghoiru Mahfudz”’ (Syadz-pent), Baihaqi 1/95, Hakim 1/187, Ibnu Hibban 1413, Qurthubi dalam Tafsirnya 10/88, Imam Nawawi berkata: “Hadits ini ditolak keabsahannya!” ( At-Talkhis 1/160). Al-Albani berkata: “Apa yang dikatakan Abu Dawud adalah benar, karena jumhur ‘ulama telah mendho’ifkan hadits ini”, (lihat Al-Misykah 343, Mukhtasor Syamail Muhammadiyah 75).







4. MASUK DENGAN MENDAHULUKAN KAKI KIRI
DAN BERDO’A

Berdasarkan hadits:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ اْلنَّبِيُّ صلي الله عليه وسلم يُعْجِبُهُ اْلتَّيَمُنُ فِيْ تَنَعُّلِهِ وَ تَرَجُّلِهِ وَ طُهُوْرِهِ وَ فِيْ شَأْنِهِ كُلِّهِ
"Dari ‘Aisyah dia berkata: Adalah Rosulullah صلي الله عليه وسلم mencintai untuk mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, bersisir, bersuci dan pada perkara mulia lainnya". (HR. Bukhori 168, Ahmad 6/187).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Telah tetap dalam kaidah syar’i bahwa perbuatan yang didalamnya mungkin untuk dilakukan antara kanan dan kiri, maka hendaklah mendahulukan yang kanan pada perkara-perkara yang baik dan mulia semisal: memakai sandal, masuk masjid, keluar WC dan lainnya, adapun perkara-perkara yang hina dan kotor seperti: masuk WC, keluar masjid, melepas sandal maka hendaklah kaki kiri didahulukan". (Majmu Fatawa 21/109).
Kemudian berdo’a:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنَ اْلخُبُثِ وَ اْلخَبَائِثِ
“Yaa Allah… Aku berlindung kepada-Mu dari gangguan Syaithon laki-laki dan Syaithon perempuan.” (HR. Bukhori 142, Muslim 375).1
Ibnu Batthol berkata: “Do’a ini tidak hanya dibaca pada tempat-tempat buang hajat (semisal kakus, jamban-pent) namun juga pada tempat-tempat lainnya”. (semisal tanah lapang, kebun-pent) . (lihat Subulus Salam 1/154).


1 Said bin Mansyur dan lainnya menambahkan lafazh ‘Bismillah’ diawal doa:
بِسْمِ اللهِ اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنَ اْلخُبُثِ وَ اْلخَبَائِثِ
Syaikh Al-Albani menshahihkan tambahan ini dalam Irwaa-ul Ghaliil no.50 Ibnu Majjah












5. LARANGAN MENGHADAP KIBLAT

Dalam masalah ini ada beberapa hadits yang menjelaskan,
1.    Hadits Abu Ayyub Al-Anshori, bahwasanya Rosulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ اْلغَائِطَ فَلاَ يَسْتَقْبِلِ اْلقِبْلَةَ وَلاَ يُوَلِّهَا ظَهْرَهُ
“Apabila salah seorang diantara kalian buang hajat, maka janganlah ia menghadap kiblat atau membelakanginya!” (HR. Bukhori 144, Muslim 264).
2.    Dari Jabir bin Abdullah dia berkata:
نَهَى اْلنَّبِيُّ صلي الله عليه وسلم أَنْ نَسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةَ بِبَوْلٍ فَرَأَيْتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ بِعَامٍ يَسْتَقْبِلُهَا
“Nabi صلي الله عليه وسلم melarang kami menghadap kiblat ketika buang hajat, akan tetapi aku melihatnya menghadap kiblat setahun sebelum wafatnya.” (HR. Tirmidzi 9, Abu Dawud 13, Ibnu Majah 325, Ibnu Khuzaimah 58, Ahmad 5/515, Ibnu Hibban 1320, Ibnu Jarud 31, dihasankan oleh Al-Albani dalam shohih sunan Abu Dawud.)
3.    Hadits Abdullah bin ‘Umar dia berkata:
إِنَّ نَاسًا يَقُوْلُوْنَ إِذَا قَعَدْتَ عَلىَ حَاجَتِكَ فَلاَ تَسْتَقْبِلِ اْلقِبْلَةَ وَلاَ بَيْتَ اْلمَقْدِسِ فَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ عُمَرَ : لَقَدْ اِرْتَقَيْتُ يَوْمًا عَلىَ بَيْتٍ لَنَا فَرَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلي الله عليه وسلم عَلىَ لَبِيْنَتَيْنِ مُسْتَقْبِلاً بَيْتَ اْلمَقْدِسِ
“Sesungguhnya manusia berkata; apabila buang hajat janganlah menghadap kiblat atau baitul maqdis, padahal suatu hari aku pernah naik rumah saudara perempuanku(Hafshoh), dan aku melihat Rosulullah صلي الله عليه وسلم buang hajat dengan menghadap Baitul Maqdis.” (HR. Bukhori 145, Muslim 266).
Hadits-hadits diatas nampaknya bertentangan satu sama lain, karena itu para ‘ulama berselisih tajam dalam masalah ini, apakah hukum menghadap kiblat dan membelakanginya ketika buang hajat bersifat mutlak, baik pada bangunan maupun tanah lapang??!. Hadits Abu Ayyub berfaidah larangan menghadap kiblat dan membelakanginya secara mutlak, sedangkan hadits Jabir menjelaskan bahwa akhir perkara Rosulullah صلي الله عليه وسلم menunjukkan bolehnya menghadap kiblat, sementara hadits Abdullah bin ‘umar menunjukkan bolehnya membelakangi kiblat tidak menghadapnya pada bangunan atau yang semisalnya. Yang benar dalam masalah ini, adalah pendapat jumhur ‘ulama yang mengkompromikan dali-dalil yang ada, bahwa menghadap kiblat dan membelakanginya dilarang pada tanah lapang atau tempat yang tidak ada penutup dan pembatasnya, adapun pada bangunan atau tempat yang ada penutup dan pembatasnya maka dibolehkan. Inilah pendapat yang dipilih oleh Al-‘Abbas bin Abdul Mutholib, Abdullah Bin ‘Umar, Sya’bi, Ishaq Bin Rohawaih, Imam Malik dan Syafi’i. (Lihat Syarah Shohih Muslim 2/497). Juga pendapat para ‘Ulama lainnya seperti Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah Muhadzzab (2/93), Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (1/323), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (1/221), As-Shon’ani dalam Subulus Salam (1/162), Syaikh Ibnu Baz dalam Fatawanya (10/35), Lajnah Daimah (5/95, no.4480) dan Ibnu Utsaimin dalam Fatawanya (11/111). Wallahu ‘Alam.












6. MENJAGA AUROT

Berkata Imam Ibnu qudamah: “Disukai untuk menutup aurot ketika buang hajat, jika ia mendapati kebun, rerimbunan, pohon atau lainnya hendaklah ia menutup diri dengannya, jika tidak maka hendaklah ia menjauh hingga tidak dilihat seorangpun”. (Al-Mughni 1/222).
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرَ قَالَ: أَرْدَفَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلي الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ خَلْفَهُ فَأَسَرَّ إِلَيَّ حَدِيْثًا لاَ أُحَدِّثُ بِهِ أَحَدًا مِنَ اْلنَّاسِ وَ كَانَ أَحَبَّ مَا اسْتَتَرَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ لِحَاجَتِهِ هَدَفٌ أَوْ حَائِشُ نَخْلٍ
Dari ‘Abdullah Bin Ja’far dia berkata: “Rosulullah صلي الله عليه وسلم pernah memboncengku pada suatu hari, dan beliau menceritakanku sebuah hadits yang tidak aku ceritakan kepada seorangpun, bahwasanya beliau paling suka untuk menjaga ‘aurot ketika buang hajat dengan pergi ketempat yang tinggi atau yang sepi.” (HR. Muslim 342, Abu Dawud 2549, Ibnu Majah 340).
Juga berdasarkan hadits:
عَنْ اْلمُغِيْرَةَ بْنِ شُعْبَةَ أَنَّ اْلنَبِيَّ صلي الله عليه وسلم كَانَ إِذَا ذَهَبَ اْلمَذْهَبَ أَبْعَدَ
Dari Mughiroh Bin Syu’bah dia berkata: “Adalah Rosulullah صلي الله عليه وسلم apabila buang hajat, menjauh ketempat yang sepi.” (HR.Abu Dawud 1, Tirmidzi 20, Ibnu Majah 331, Nasa’I 17, Darimi 666. Al-Albani menghasankannya dalan As-Shohihah [1159]).
Imam Nawawi berkata: "Didalam hadits terdapat anjuran untuk menjaga ‘aurat ketika buang hajat, baik di tempat sepi, terlindung atau yang lainnya, yang dapat menutupi dari pandangan orang". (Syarah Shohih Muslim 3/29).












7. KENCING BERDIRI?

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ اْلنَّبِيَّ صلي الله عليه وسلم كَانَ يَبُوْلُ قَائِمًا فَلاَ تُصَدِّقُوْهُ , مَا كَانَ يَبُوْلُ إِلاَّ قَائِدًا
Dari ‘Aisyah dia berkata: “Barang siapa yang menceritakan [kepada] kalian bahwasanya Nabi صلي الله عليه وسلم kencing berdiri janganlah dipercaya! Tidaklah Nabi kencing kecuali dengan duduk.” (HR. Tirmidzi 12, Nasa’i 29, Ibnu Majah 307, Ahmad 6/192). Dishohihkan oleh Al-Albani dalam As-Shohihah (201).
Hudzaifah bin Yaman berkata:
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ اْليَمَانِ قَالَ: كُنْتُ مَعَ اْلنَّبِيِّ صلي الله عليه وسلم فَانْتَهَى إِلىَ سُبَاطَةِ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا
“Aku pernah pergi bersama Nabi صلي الله عليه وسلم, kemudian beliau berhenti pada suatu tempat dan kencing dengan berdiri. (HR. Bukhori 226, Muslim 273).
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: Yang dzhohir bahwa perbuatan nabi diatas menunjukkan bolehnya hal itu, sekalipun beliau paling sering kencing dengan duduk, adapun perkataan ‘Aisyah hanya sebatas pengetahuannya didalam rumah, yang dia tidak tahu pada selainnya. (Fathul Bari 1/430).
Kesimpulannya: kencing dengan berdiri atau duduk dibolehkan, yang terpenting adalah aman dari percikan air kencingnya. (lihat As-Shohihah 1/393)
Perhatian:
Hadits yang berbunyi:
عَنْ عُمَرَ قَالَ: رَاّنِيْ اْلنَّبِيُّ صلي الله عليه وسلم وَ أَناَ أَبُوْلُ قَائِمًا, فَقَالَ: يَا عُمَرُ لاَ تَبُلْ قَائِمًا! فَمَا بُلْتُ قَائِمًا بَعْدُ
Dari Umar dia berkata: “Nabi melihatku kencing dengan berdiri maka beliaupun menegurku seraya berkata: Hai ‘Umar janganlah kamu kencing dengan berdiri!” (HR.Tirmidzi 12, Ibnu Majah 308, Ibnu Hibban 135, Baihaqi 1/102).
Ini adalah hadits yang dho’if, didho’ifkan oleh Tirmidzi dalam Sunannya 12, Al-Albani dalam Ad-Dho’ifah 934.

















8. LARANGAN MENGGUNAKAN TANGAN KANAN

Imam Ibnu Qoyyim berkata: "Adalah Nabi Istinja dan Istijmar dengan tangan kirinya". (Zaadul Ma’ad 1/166).
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِيْهِ عَنِ اْلنَّبِيِّ صلي الله عليه وسلم قَالَ: إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَأْخُذَنَّ ذَكَرَهُ بِيَمِيْنِهِ وَلاَ يَسْتَنْجِيْ بِيَمِيْنِهِ
Dari Abu Qotadah dari bapaknya bahwasanya Rosulullah صلي الله عليه وسلم bersabda: “Apabila salah seorang diatara kalian kencing maka janganlah ia memegang kemaluannya dan beristinja dengan tangan kanannya. (HR. Bukhori 154, Muslim 267).
Imam Nawawi berkata: "‘Ulama bersepakat atas haramnya beristinja dengan tangan kanan". (Syarah Shohih Muslim 2/498).



















9. ISTINJA

Istinja adalah bersuci dengan menggunakan air, batu atau yang lainnya. hal ini wajib dilakukan untuk mensucikan segala sesuatu yang keluar dari dua jalan [seperti air kencing, berak, madzi-pent]. (Lihat Al-Mughni 1/206, Majmu’ Syarah Muhadzzab 2/110.) Adapun dalil istinja dengan air, berdasarkan hadits:
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ يَقُوْلُ: كَانَ اْلنَّبِيُّ صلي الله عليه وسلم إِذَا خَرَجَ لِحَاجَتِهِ أَجِيْءُ أَناَ وَ غُلاَمٌ مَعَناَ إِدَاوَةٌ مِنْ مَاءٍ
Dari Anas Bin Malik dia berkata: Adalah Nabi apabila hendak buang hajat, maka aku dan seorang anak sebayaku membawakan seember air untuknya. (HR. Bukhori 150).
Imam Asy-Saukani berkata: "Hadits ini menunjukkan tetapnya istinja dengan air" (Nailul Author 1/96, lihat pula Al-Mugni 1/208).



























11. SUNNAHNYA ISTIJMAR DENGAN
BILANGAN GANJIL

Berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنْ اْلنَّبِيِّ صلي الله عليه وسلم قَالَ: إِذَا اسْتَجْمَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَجْمِرْ وِتْرًا
Dari Abu Hurairoh bahwasanya Rosulullah صلي الله عليه وسلم bersabda: “Apabila salah seorang diantara kalian istijmar maka istijmarlah dengan bilangan yang ganjil”. (HR. Bukhori 161, Muslim 237 dan ini lafadznya). Dan hendaklah bilangan tersebut tidak kurang dari tiga, berdasarkan hadits:
عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: قِيْلَ لَهُ : قَدْ عَلَّمَكُمْ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى اْلخِرَاءَةَ قَالَ: أَجَلْ! لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ اَنْ نَسْتَنْجِيَ بِاْليَمِيْنِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيْعٍ أَوْ بِعَظْمٍ
Dari Salman bahwasanya dia ditanya seorang musyrik: “Apakah Nabi kalian mengajarkan segala sesuatu hingga adab buang hajat?” Salman menjawab: “Ya! Sungguh beliau melarang kami ketika buang hajat untuk menghadap kiblat, istinja dengan tangan kanan, istinja kurang dari tiga batu, istinja dengan kotoran atau tulang”. (HR. Muslim 262, Tirmidzi 16, Abu Dawud 7, Ibnu Majah 316).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Berdasarkan hadits ini Imam Syafi’i, Ahmad, dan Ahli hadits mensyaratkan bahwa istijmar tidak boleh kurang dari tiga, dengan tetap menjaga kebersihannya, bila kurang bersih boleh lebih dari tiga dan disunnahkan ganjil. (Fathul Bari 1/336 lihat pula Al-Mughni 1/209, Majmu’ Syarah Muhadzzab 2/120 Tuhfatul Ahwadzi 1/67).
























12. DIBENCINYA BERBICARA
KETIKA BUANG HAJAT

Berdasarkan hadits:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلاً مَرَّ وَ رَسُوْلُ اللهِ صلي الله عليه وسلم يَبُوْلُ فَسَلَّمَ , فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ
Dari Abdullah Bin ‘Umar dia berkata: “Adalah seorang laki-laki memberi salam kepada Rosulullah صلي الله عليه وسلم tatkala beliau kencing, maka beliaupun tidak menjawabnya.” (HR. Muslim 370, Abu Dawud 16, Tirmidzi 90, Nasa’i 37, Ibnu Majah 353, Lihat Al-Irwaa-ul Ghalil 54).
Berkata Imam Nawawi: “Didalam hadits ini terdapat faidah bahwasanya seorang muslim yang sedang buang hajat tidak wajib menjawab salam, dan faidah yang lain adalah dibencinya berbicara ketika buang hajat terkecuali ketika terpaksa”.(Syarah Shohih Muslim 3/51).














13. DO’A KELUAR WC

Ketika selesai buang hajat, hendaklah keluar dengan mendahulukan kaki kanan seraya berdo’a:
غُفْرَانَكَ
“Yaa… Allah aku mohon ampunan-Mu.” (HR.Tirmidzi 7, Abu Dawud 30, Ibnu Majah 300, Ahmad 24694, Ibnu Sunni dalam Amal Yaum wa Lailah 23, Hakim 1/158, Baihaqi 1/97), di shohihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwaa-ul Ghalil 52.
Demikianlah pembahasan kali ini, semoga Allah menjadikannya ikhlas mengharap wajah-Nya dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin, Wallahu ‘Alam





























0 comments:

Posting Komentar

.

@ elhaniev-cyberultimate.blogspot.com. Diberdayakan oleh Blogger.