Dinukil dari kitab Mi'ah Qishshah diceritakan bahwa ada seorang ulama
dari Bukhara yang sedang datang ke kota penguasa untuk mengunjungi
saudaranya. Ulama tersebut adalah Abu Ghayyats.
Kebetulan di tengah jalan sang ulama bertemu dengan anak-anak penguasa yang bernama Amir Nashr bin Muhammad. Anak-anak tersebut sedang asyik bermain dengan para pengawalnya. Karena sudah saking asyiknya bermain, hingga mereka tak sengaja mengganggu perjalanan sang ulama.
Abu Ghayyats pun sudah memperingatkan kepada anak tersebut agar tidak mengganggunya lagi. Nasehatnya tak diindahkan bahkan mereka terus mengganggu.
Abu Ghayyats mengangkat kepalanya ke atas sembari berdoa kepada Allah SWT. Kemudian mengambil tongkat dan menggebuki anak-anak itu.
Mereka pun lari kocar-kacir menuju istana sang penguasa. Setibanya di kerajaan, si anak mengadukan Abu Ghayyats kepada ayahnya hingga jadi murkalah.
Abu Ghayyats pun dipanggil oleh sang penguasa akhirnya.
Pemimpin yang Suka Menghukum.
Setibanya di tempat, sang penguasa bertanya,
"Tidak tahukah engkau bahwa siapa saja yang membangkang terhadap penguasa, dia akan diberi makan siang di penjara?" kata Amir, sang penguasa.
Abu Ghayyats tidak takut sama sekali, bahkan dia malah membalas pernyataan penguasa.
"Tidak tahukah Anda siapa saja yang membangkang kepada Ar-Rahman (Allah SWT), dia akan diberi makan malam di neraka?" balas Abu Ghayyats.
Kontan saja pernyataan yang diberikan sang ulama membuat marah sang penguasa.
Akhirnya penguas memberikan hukuman pancung kepada Abu Ghayyats. Namun demikian sang penguasa memberikan kesempatan kepada sang ulama untuk mengucapkan kata-kata terakhirnya.
Sang Penguasa Tobat.
"Baiklah, sekarang mintalah apa keperluanmu, setelah itu aku akan menghukummu dengan penggal kepala," kata Amir.
"Kalau begitu, tulislah surat kepada Malikat Malik, penjaga neraka agar tidak menyiksaku kelak," kata Abu Ghayyats.
"Itu bukan wewenangku, maka mintalah yang lain saja," kata Amir.
"Kalau begitu, tulislah surat kepada Malikat Ridwan, penjaga surga, agar memasukkanku kelak di surga," kata Abu Ghayyats.
"Itu pun juga bukan wewenangku," kata Amir lagi.
"Kalau begitu, keperluanku hanya kepada Allah SWT saja yang merupakan Pemilik semua keperluan dan kebutuhan," tegas Abu Ghayyats.
Atas jawaban tegas dari Abu Ghayyats tersebut, akhirnya sang ulama dibebaskan bahkan dia malah dipuji karena keimanan yang dia miliki.
Sang pemimpin itu akhirnya bertobat kepada Allah SWT.
Kebetulan di tengah jalan sang ulama bertemu dengan anak-anak penguasa yang bernama Amir Nashr bin Muhammad. Anak-anak tersebut sedang asyik bermain dengan para pengawalnya. Karena sudah saking asyiknya bermain, hingga mereka tak sengaja mengganggu perjalanan sang ulama.
Abu Ghayyats pun sudah memperingatkan kepada anak tersebut agar tidak mengganggunya lagi. Nasehatnya tak diindahkan bahkan mereka terus mengganggu.
Abu Ghayyats mengangkat kepalanya ke atas sembari berdoa kepada Allah SWT. Kemudian mengambil tongkat dan menggebuki anak-anak itu.
Mereka pun lari kocar-kacir menuju istana sang penguasa. Setibanya di kerajaan, si anak mengadukan Abu Ghayyats kepada ayahnya hingga jadi murkalah.
Abu Ghayyats pun dipanggil oleh sang penguasa akhirnya.
Pemimpin yang Suka Menghukum.
Setibanya di tempat, sang penguasa bertanya,
"Tidak tahukah engkau bahwa siapa saja yang membangkang terhadap penguasa, dia akan diberi makan siang di penjara?" kata Amir, sang penguasa.
Abu Ghayyats tidak takut sama sekali, bahkan dia malah membalas pernyataan penguasa.
"Tidak tahukah Anda siapa saja yang membangkang kepada Ar-Rahman (Allah SWT), dia akan diberi makan malam di neraka?" balas Abu Ghayyats.
Kontan saja pernyataan yang diberikan sang ulama membuat marah sang penguasa.
Akhirnya penguas memberikan hukuman pancung kepada Abu Ghayyats. Namun demikian sang penguasa memberikan kesempatan kepada sang ulama untuk mengucapkan kata-kata terakhirnya.
Sang Penguasa Tobat.
"Baiklah, sekarang mintalah apa keperluanmu, setelah itu aku akan menghukummu dengan penggal kepala," kata Amir.
"Kalau begitu, tulislah surat kepada Malikat Malik, penjaga neraka agar tidak menyiksaku kelak," kata Abu Ghayyats.
"Itu bukan wewenangku, maka mintalah yang lain saja," kata Amir.
"Kalau begitu, tulislah surat kepada Malikat Ridwan, penjaga surga, agar memasukkanku kelak di surga," kata Abu Ghayyats.
"Itu pun juga bukan wewenangku," kata Amir lagi.
"Kalau begitu, keperluanku hanya kepada Allah SWT saja yang merupakan Pemilik semua keperluan dan kebutuhan," tegas Abu Ghayyats.
Atas jawaban tegas dari Abu Ghayyats tersebut, akhirnya sang ulama dibebaskan bahkan dia malah dipuji karena keimanan yang dia miliki.
Sang pemimpin itu akhirnya bertobat kepada Allah SWT.
0 comments:
Posting Komentar