Siapa sih yang tidak kenal dengan "Kapur Barus". Bentuknya sekarang macam2, ada yang bulat, kotak persegi, dan bentuk2 lain. Tapi tahukah anda dari mana kapur barus berasal ? Sebagian besar mungkin menjawab dari Cina, wajar karena ketika membeli kemasan tersebut, disitu tertulis secara mencolok, huruf2 cina, sebagian lagi mungkin menjawab tidak tahu, pokoknya tahunya pakai saja. Namun tahukah anda, bahwa tak disangka tak dinyana ternyata kapur barus itu adalah produk "jadul" alias sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Dan kota penghasil kapur barus, ternyata tak jauh2 amat dari kita ! Ah, yang benar ? Simak saja penuturan berikut.
Kota penghasil kapur
wewangian yang populer dengan nama ‘Kapur Barus’ ini
bisa jadi merupakan kota tertua di Nusantara,
mengingat Barus merupakan kota di Nusantara satu-satunya
yang pernah dicatat berbagai
literatur sejak awal
masehi dalam bahasa Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria,
Armenia, China, dan sebagainya.
Barus merupakan sebuah kota kecil yang berada di pesisir
Barat Provinsi Sumatera Utara, tepatnya di antara kota Singkil dengan Sibolga,
sekitar 414 kilometer selatan Medan. Kota penghasil kapur wewangian yang
populer dengannama ‘Kapur Barus’ ini bisa jadi merupakan kota tertua
di Nusantara, mengingat Barus merupakan kota di Nusantara satu-satunya yang
pernah dicatat berbagai literatur sejak awal masehi dalam bahasa Arab, India,
Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.
Claudius Ptolomeus, seorang Gubernur Kerajaan Yunani
yang berpusat di Iskandariyah Mesir, pada abad ke-2 Masehi membuat sebuah peta
dan di situ telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah
bandar niaga bernama Barousai yang dikenal menghasilkan wewangian dari sejenis
kapur. Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur wangi yang diolah dari kayu kamfer
dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat
pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5.000 tahun sebelum
Masehi!.1
Barousai yang berada di pesisir Barat Sumatera
merupakan istilah Yunani untuk Barus. Ada pula yang menyebutnya sebagai Fansur.
Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai
daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah
makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis
Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi.
Ini memperkuat data jika komunitas Muslim di Barus
sudah ada pada era itu.
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan
bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda
15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun
setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—telah ada
kampung kecil yang dihunipemeluk Islam di sebuah pesisir pantai Barat Sumatera.
Kampung ini berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya. Disebutkan
pula bahwa di daerah ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan
asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan pernikahan. Mereka telah
beranak–pinak di sana dan dari sinilah mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an sebagai
cikal bakal pesantren, berikut masjidnya.2
Prof. Dr. HAMKA mendapatkan informasi jika seorang
pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu
kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat
Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah
pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA
menegaskan, temuan ini telah diyakini
kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di
Princetown University di Amerika.3
BARUS
DAN PEMBALSEMAN MUMI FIRAUN
Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole
Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti
dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah
menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah
perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa sepertiArab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak,
Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut menemukan banyak
benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini
menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.4
Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang
terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka
memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun
pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut
berkuasa di sejumlah bandar. Mereka
banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja,
adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi
penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula
penduduk setempat yang memeluk Islam.
Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat
yang akhirnya masuk Islam.
Tentunya dengan jalan damai.5 Inilah Barus,
sebuah kota kecil di pesisir Barat Sumatera Utara yang sangat bersejarah namun
ironisnya tidak mendapat perhatian yang cukup
dari pemerintah pusat. (fz)
(Footnotes)
1 Harian
Kompas: Akhir Perjalanan Sejarah Barus (1 April 2005)
2 Kitab
Chiu Thang Shu, tanpa tahun.
3 Prof.
Dr. HAMKA; Dari Perbendaharaan Lama; Pustaka Panjimas; cet.III; Jakarta; 1996;
Hal.4-5.
4 Ahmad
Arif dalam Kompas, 1 April 2005 “Akhir Perjalanan Sejarah Barus’: … Tahun 1872,
pejabat Belanda, GJJ
Deutz,
menemukan batu bersurat tulisan Tamil. Tahun 1931, Prof Dr K A Nilakanta Sastri
dari Universitas Madras,
India,
menerjemahkannya. Menurutnya, batu bertulis itu bertahun Saka 1010 atau 1088 M
di zaman kekuasaan Raja
Cola
yang berkuasa di Tamil, India Selatan. Tulisan itu antara lain menyebutkan
tentang perkumpulan dagang suku
Tamil
sebanyak 1.500 orang di Lobu Tua yang memiliki pasukan keamanan, aturan
perdagangan, dan ketentuan
lainnya.
Namun, Lobu Tua yang merupakan kawasan multietnis di Barus ditinggalkan secara
mendadak oleh penghuninya
pada
awal abad ke-12 sesudah kota tersebut diserang oleh kelompok yang dinamakan
Gergasi. “Berdasarkan data
tidak
adanya satu benda arkeologi yang dihasilkan setelah awal abad ke-12. Namun,
para ahli sejarah sampai saat
ini
belum bisa mengidentifikasi tentang sosok Gergasi ini,” papar Lucas Partanda
Koestoro, Kepala Balai Arkeologi
Medan.
Setelah ditinggalkan oleh komunitas multietnis tersebut, Barus kemudian dihuni
oleh orang-orang Batak yang
datang
dari kawasan sebelah utara kota ini. Situs Bukit Hasang merupakan situs Barus
yang berkembang sesudah
penghancuran
Lobu Tua.
Sampai
misi dagang Portugis dan Belanda masuk, peran Barus yang saat itu telah
dikuasai raja-raja Batak sebenarnya
masih
dianggap menonjol sehingga menjadi rebutan kedua penjajah dari Eropa tersebut.
Penjelajah Portugis Tome
Pires
yang melakukan perjalanan ke Barus awal abad ke-16 mencatat Barus sebagai
pelabuhan yang ramai dan
makmur.
“Kami sekarang harus bercerita tentang Kerajaan Barus yang sangat kaya itu, yang
juga dinamakan Panchur
atau
Pansur. Orang Gujarat menamakannya Panchur, juga bangsa Parsi, Arab, Bengali,
Keling, dan seterusnya. Di
Sumatera
namanya Baros (Baruus). Yang dibicarakan ini satu kerajaan, bukan dua,”
demikian Pires.
Tahun
1550, Belanda berhasil merebut hegemoni perdagangan di daerah Barus. Dan pad a
tahun 1618, VOC mendapatkan
hak
istimewa perdagangan dari raja-raja Barus, melebihi hak yang diberikan kepada
bangsa China, India, Persia, dan
Mesir.
Belakangan, hegemoni Belanda ini menyebabkan pedagang dari daerah lain
menyingkir. Sepak terjang Belanda
juga
mulai merugikan penduduk dan raja-raja Barus hingga memunculkan perselisihan.
Tahun 1694, Raja Barus Mudik
menyerang
kedudukan VOC di Pasar Barus. Banyak korban tewas.
Raja
Barus Mudik bernama Munawarsyah alias Minuassa ditangkap Belanda dan diasingkan
ke Singkil, Aceh.
Perlawanan
rakyat terhadap Belanda dilanjutkan di bawah pimpinan Panglima Saidi Marah.
Gubernur Jenderal Belanda
di
Batavia mengirim perwira andalannya, Letkol J. J. Roeps ke Barus. Tahun 1840,
Roeps dibunuh pasukan Saidi
Marah
yang bergabung dengan pasukan Aceh dan pasukan Raja Sisingamangaraja dari
wilayah utara Barus Raya.
Namun,
pamor Barus sudah telanjur menurun karena saat Barus diselimuti konflik, para
pedagang beralih ke
pelabuhan
Sunda Kelapa, Surabaya, dan Makassar. Sementara, pedagang-pedagang dari Inggris
memilih mengangkut
hasil
bumi dari pelabuhan Sibolga. Barus semakin tenggelam saat Kerajaan Aceh
Darussalam berdiri pada permulaan
abad
ke-17. Kerajaan baru tersebut membangun pelabuhan yang lebih strategis untuk
jalur perdagangan, yaitu di
pantai
timur Sumatera, berhadapan dengan Selat Melaka…
5 Sagimun
M.D., Peninggalan Sejarah, Masa Perkembangan Agama-Agama di Indonesia, CV. Haji
Masagung, cet.1,
1988,
hal.58
0 comments:
Posting Komentar